Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan Pengasuh Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat Palembang

Jurnalis, Dosen UIN Raden Fatah Palembang, dan sekarang mengelola Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Rahmat Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Wartawan Nabi Palsu

5 Juni 2020   07:22 Diperbarui: 5 Juni 2020   07:25 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya, sakitlah Mas. Kena jarum aja saya njerit, apalagi dicolok matanya, ya butalah saya, Mas," jawab Alif masih lugu.

"Ini bukan soal sakit, Lif. Tapi disini," ujar Mas Darmanto sambil menunjuk dada Alif, persis sebelah kiri dua jari di bawah puting susu kita.

"Di situ ada apa, Lif?!" mata Mas Darmanto menatap Alif, menunggu jawaban.

"Hati, Mas!" Alif menjawab tepat sasaran.

"Yup! Itu yang sering kita sebut hati nurani. Kalau itu sudah ternoda, harga diri kita jatuh di mata narasumber, apalagi di mata Tuhan!" Mas Darmanto menyeret tema kali itu ke ranah tauhid.

"Kok jauh banget, soal amplop kok sampai ke Tuhan!?" Alif belum nyambung dengan arah pembicaraan Mas Darmanto kali itu.

"Wartawan itu, tugasnya bukan sekadar menulis berita. Tapi harus bertanggungjawab agar beritanya mencerdaskan pembaca, mengarahkan kebijakan yang buruk menjadi baik, mendorong orang yang tidak baik mengarah pada perbuatan baik. Itulah yang namanya tanggungjawab moral wartawan terhadap publik. Jadi bukan sebatas wawancara, comot sana-comot sini, wawancara si A dan si Be, lalu nulis dan besok dapat gaji. Bukan itu, Lif! Kalau hanya itu, apa bedanya wartawan dengan pegawai?!" Alif hanya termangu.

Sebagai wartawan kampus, ungkapan Mas Darmanto menjadi petuah berharga yang baru ia dengar. Sebelumnya, hanya persoalan teknis pembuatan berita, kode etik jurnalistik, photogafi jurnalistik yang cenderung teoritis-akademis. Tapi dengan Mas Darmanto, Alif mendapatkan dua sisi, baik ideologi dan teknis hingga nilai-nilai, yang di kemudian hari membangun jati diri Alif menjadi wartawan di Palembang.

*

"Bagaimana kalau Anda sebagai wartawan kemudian narasumber memberi amplop?" tanya Mas Pardiman saat sesi wawancara. Seketika Alif ingat kembali dengan pesan Mas Darmanto.

"Ya, kita tolak, Mas," jawab Alif pendek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun