Mohon tunggu...
Harun Imohan
Harun Imohan Mohon Tunggu... Psikolog - Saya anak kedua dari tiga bersaudara. Sebagai sarjana muda, saya hanya bisa menulis untuk sementara waktu karena belum ada pekerjaan tetap.

Aku ber-Majelis maka aku ada

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jalan-jalan Jogja Aja

13 September 2017   23:39 Diperbarui: 13 September 2017   23:50 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sempat terlintas pikiran buruk tentang Jogja. Yah, banyak orang bilang bahwa Jogja itu pergaulannya bebas dan terkenal sebagai tempat aborsi terbesar. Disamping banyaknya universitas yang ada disini, Jogja juga terkenal sebagai tempat wisata yang beragam. Mulai dari Gunung Kidul, Parang Tritis dan juga lainnya. Daya tarik wisata yang menarik, sehingga tidsk sedikit warga luar pribumi yang datang ke sana.

Jogja tempat cerita, ungkap seorang wisatawan yang datang jauh-jauh dari luar Pulau Jawa ke Jogja. Ia tertarik bukan dari wisata alam yang ada di Jogja, namun karena budaya yang masih terjaga rapi di sana. Kebudayaan sudah menjadi kebutuhan pokok yang mewajibkan semua penduduk untuk menjaga dan merawatnya. Tak heran itulah mengapa penduduk Jogja masih patuh dengan dawuh (Jawa:nasihat) raja. Sultan Hamengkubuwana, raka yang sangat berpengaruh di Jogja.

Menurut salah satu narasumber yang juga sahabat karib saya, ketika berjumpa di salah satu warung kopi Jogja, Ia mengatakan bahwa penduduk Jogja sampai saat ini patuh terhadap kerajaan. Bukan karena takut dengan serangan keraton, namun, sebagai timbal balik akan rasa terimakasih penduduk Jogja karena tanah yang ada di Jogja merupakan tanah milik kerajaan. Entahlah, saya juga sempat bingung mendengar pernyataan tersebut. Penuh tanda tanya besar akan rasa penasaran saya terhadap Sultan yang memberikan tanah kepada penduduk Jogja, tepatnya Sultan Hamengkubuwana yang ke IX. Kok masih ada raja yang baik serta welas asih pada rakyatnya? Mengapa masih saja bergabung dengan negara Indonesia? Jika tanah yang dimiliki sangat luas, mengapa tidak membuat peradaban sendiri? Sungguh, pejuang yang sangat luar biasa.

Sayangnya, kecintaan sang raja di Jogja tidak sedikit mendapat goresan dari penduduk Jogja terutama mahasiswa yang menciderai sang raja dengan ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Artinya, kebhinekaan nenek moyang mulai di reduksi perlahan dengan berbagai kemasan. Tapi tetap saja, rasa khawatir saya akan gerakan apapun yang berusaha menghancurkan Indonesia tidak begitu besar. Nyatanya, sampai saat ini dan sampai kapan pun, toleransi sebagai sifat dasar penduduk Indonesia akan selalu eksis. Landasan bangunan negara yang bermodal budaya akan selamanya tetap terjaga. Karena budaya-lah, moralitas dan kebabasan itu mempunyai batasan ekspresif. Sehingga, kebebasan seseorang tidak menciderai hak-hak orang lain.

Sambil tetap asyik menyeduh kopi, saya melihat indahnya rombong (gerobak jualan) angkringan lengkap dengan senyuman penjualnya. Tempat mencari nafkah yang sangat strategis untuk menarik para pelanggan, berada di Timur Bangunan Tugu yang menjadi salah satu icon keindahan Jogja. Bangunan ini memiliki filosofi akan penghargaan keraton terhadap pantai Selatan karena dibangun pada posisi yang sejajar dengan pantai selatan. Keindahan akan berinteraksi menjadikan Jogja selalu memasuki kategori destinasi wisata. Lagu dari para musisi yang menceritakan tentang riang gembiranya Kota ini juga tidak sedikit. Mulai dari keroncong sampai musik rock. Jogja selalu bisa menempati ruang hati para penduduk dan para pendatang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun