“Eh kok malah bapak bengong! Kerja, Pak kerja! Bukan malah bengong!”
Aku tersentak. Aku mendongak dan mendapati istriku yang berdiri tegak dengan berkacak pinggang di hadapanku. Aku menelan ludah susah payah. Inikah wanita yang kunikahi tujuh belas tahun silam? Wanita pemilik senyuman malu-malu saat pertama kali aku mengajaknya berkenalan.
Ya Tuhan, waktu benar-benar berlalu cepat.
Wanita manis itu kini menjelma sebagai wanita menyebalkan sekaligus menakutkan dalam kehidupanku saat ini. Tidak, aku sebenarnya tidak ingin berkata demikian tentang istriku. Biar bagaimanapun kami telah hidup bersama selama tujuh belas tahun. Dia sudah memberiku dua anak yang manis dan telah mengurus serta merawat keduanya hingga saat ini. sungguh, aku berterima kasih untuk itu.
“Bapak tahu nggak sih kemarin Santi kemari. Ck, adikmu itu kesini cuma pamer punya cincin baru. Huh! Dikira ibu nggak bisa beli apa.”
Ini! Inilah penyakit hati yang mendera istriku sejak dulu. Dulu mungkin aku bisa memenuhi semua keinginannya. Atas nama cinta kuberikan apapun yang menjadi kemauannya. Kini, ketika roda kehidupan kami dibawah, jelas kebutuhan itu sulit kupenuhi. Sekeluarga tak kelaparan serta anak-anak bisa sekolah saja sudah bersyukur. Tak perlu hal muluk-muluk lainnya. Tapi sayang istriku sama sekali belum bisa menerima kehidupan kami. Ia selalu mengeluhkan pendapatanku yang katanya tak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal nyatanya…
Ah, sebagai lelaki dan suami aku merasa tak dihargai.
Sudah dua bulan ini aku bekerja menjadi kuli bangunan. Kupikir ini selama pekerjaan halal akan kulakoni, yang penting kami bisa makan. Toh hasilnya pun lumayan. Namun sayangnya pekerjaan merenovasi rumah telah rampung, itu berarti aku harus mencari pekerjaan lain. Sayangnya, baru seminggu aku tak bekerja istriku sudah membombardirku dengan kata-kata pedasnya. Nyaris setiap hari ia mengomel tak henti. Bukan aku saja yang menjadi korban tetapi juga anak-anak.
“BAPAK!”
Aku berjengit kaget. “Bapak itu ngelamunin apa sih? Nggak dengar ya Ibu ngomong apa dari tadi? Ya ampun, Pak. Kerjaan kok bisanya bengong ngelamun, ngelamun bengong! Bosen tahu Pak lihatnya.”
Aku menarik napas panjang, lalu beringsut dari kursi. Amarahku bisa saja meledak jika harus terus-terusan mendengar gerutuan istriku. Kalau aku boleh jujur, terkadang terbersit rasa ingin berpisah saja. Sungguh, rasanya menyesakkan diperlakukan seperti ini. Meskipun dia istriku tetap saja aku seorang laki-laki. Aku pemimpin, imam keluarga yang harus dihormati. Sekali lagi kuberitahu, aku masih bertanggungjawab penuh terhadap kebutuhan anak istriku. Aku tak pernah mangkir. Hanya saja memang penghasilanku yang tak seberapa selalu menjadi bulan-bulanan istriku.