Mohon tunggu...
Iman Haris
Iman Haris Mohon Tunggu... Tukang Ngopi

Nulis kalau lagi rajin, jadi jurnalis kalau lagi mood.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perang Tarif Trump: Ketika Amerika Kalah Dalam Permainan Sendiri

14 April 2025   12:02 Diperbarui: 14 April 2025   18:50 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perang Tarif Trump: saat Amerika kalah dalam permainannya sendiri—neoliberalisme dan pasar bebas. (Foto: AFP/BRENDAN SMIALOWSKI)

Ketika Amerika Kalah dalam Permainan Sendiri: Catatan Kecil atas Perang Tarif Trump

Beberapa waktu terakhir, perang tarif yang dilancarkan Donald Trump ramai dibincang. Mengikuti berbagai pemberitaan ini, rasanya seperti menyaksikan Amerika Serikat bermain catur melawan dirinya sendiri, dan perlahan kehabisan langkah.

Terlepas dari keresahan dunia menyusul langkahnya, aksi sepihak Trump ini juga pada dasarnya mengungkap kekalahan Amerika Serikat dalam permainan yang mereka ciptakan sendiri: Neoliberalisme, dengan pasar bebas sebagai instrumen utamanya.

Ini bukan hanya tentang proteksionisme, tapi semacam pengakuan diam-diam bahwa arsitektur ekonomi global yang mereka bangun sudah tidak lagi menguntungkan mereka. Atau setidaknya, tidak lagi menjamin supremasi mereka.

The Washington Consensus: Neoliberalisme dan Free Trade

Setelah Perang Dunia II, dan lebih intens lagi sejak 1980-an, Amerika Serikat bersama lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia mempromosikan prinsip-prinsip neoliberal: liberalisasi perdagangan, privatisasi, deregulasi, dan pengurangan peran negara dalam ekonomi.

Kebijakan ini dikodifikasikan dalam apa yang disebut Washington Consensus, sebuah kumpulan sepuluh prinsip kebijakan ekonomi yang diperkenalkan oleh ekonom John Williamson pada tahun 1989.

Prinsip-prinsip ini mencakup disiplin fiskal (kebijakan penghematan dan pengendalian utang pemerintah), liberalisasi perdagangan dan investasi, privatisasi, serta deregulasi. Washington Consensus menjadi resep standar bagi negara-negara berkembang yang menerima bantuan internasional, dan mencerminkan dominasi pemikiran neoliberal dalam ekonomi global pasca-Perang Dingin.

Dani Rodrik, dalam The Globalization Paradox, menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip tersebut sering kali tidak memperhitungkan kondisi sosial dan politik domestik negara-negara berkembang. Menurutnya, "globalisasi ekonomi tidak bisa bersanding dengan demokrasi nasional dan otonomi kebijakan," yang pada akhirnya menciptakan ketegangan struktural di banyak negara.

Senada dengan itu, Ha-Joon Chang dalam Kicking Away the Ladder menunjukkan bahwa negara-negara maju, termasuk AS dan Inggris, dahulu membangun ekonominya lewat proteksionisme dan intervensi negara, bukan dengan prinsip neoliberal. Namun, setelah maju, mereka mendorong negara lain untuk mengikuti jalur liberalisasi penuh, ibarat "menendang tangga" yang dulu mereka panjat.

Perdagangan bebas menjadi semacam agama baru yang diyakini akan membawa kemakmuran bagi semua. Dalam konteks ini, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), yang kemudian bertransformasi menjadi World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995, menjadi instrumen utama untuk mewujudkan kebijakan perdagangan bebas di seluruh dunia.

GATT, yang disepakati pada tahun 1947, adalah sebuah perjanjian internasional yang bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan internasional dengan mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lainnya antar negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun