Keterasingan ini mungkin tak selalu kita sadari, tapi seperti bayangan, ia selalu mengikuti, perlahan menggerogoti tanpa kita sadari.
Memasuki abad ke-20, keterasingan manusia semakin menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Heidegger menggambarkan manusia seperti dilempar ke dunia tanpa peta, mencari pegangan dalam ketidakpastian. Bagi Sartre, kebebasan yang kita miliki justru membuat kita terjebak dalam kehampaan.
Sementara itu, Durkheim melihat bagaimana perubahan sosial yang cepat membuat manusia kehilangan arah. Mungkin karena itu, tanpa sadar, kita selalu punya hasrat untuk pulang---ke suatu tempat, kepada orang, atau bahkan kepada diri kita sendiri yang sudah kita tinggalkan dan tak kita kenali lagi.
Lalu, di mana sebenarnya rumah kita? Sebuah tempat, ataukah suasana yang kita rindukan? Apakah rumah itu nyata, ataukah sekedar perasaan yang kita angankan? Setiap perjalanan memberiku jawaban yang berbeda. Kadang rumah adalah tempat, kadang orang-orang yang kita cintai, kadang juga momen-momen kecil yang menghadirkan rasa cukup.
Boleh jadi, sebagaimana perjalanan puasa menuju fitri atau hidup menuju kepulangan sejati, pulang bukan hanya tentang kembali, tetapi juga tentang menemukan kembali makna yang sempat hilang di perjalanan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI