Ramadan selalu mengingatkanku pada perjalanan. Perjalanan fajar menuju petang, juga hari demi hari yang pada akhirnya mengantarkan kita kembali kepada fitri. Ya, Ramadan bukan sekadar bulan suci, tetapi perjalanan kembali menuju fitrah---seperti saat pertama kali kita hadir di dunia, bersih dan penuh harapan.
Demikian juga hidup, hari demi hari kita melangkah menuju ke masa depan. Dari sekian banyak hal yang tak pasti di masa depan, ada satu yang cukup pasti, yaitu mati. Hidup adalah perjalanan yang ujungnya selalu kembali, baik kembali kepada asal, kepada makna, atau kepada yang Maha Memiliki.
Terlepas dari tangisan, kita sebenarnya punya cara yang indah dalam menggambarkan kematian, "kembali ke rahmatullah." Kematian tak dilihat sebagai sebuah kepergian, melainkan kepulangan. Sebagaimana perantau yang pulang ke kampung halamannya.
Mungkin, karena itu manusia secara naluriah selalu punya dorongan untuk pulang, mencari sesuatu yang terasa hilang. Secara naluriah pula manusia merasakan keterasingan. Jika mati adalah rumah atau kampung halaman sejati, maka kita hanyalah musafir di dunia ini.
Anak-anak ingin segera kembali kepada orang tuanya sepulang sekolah, para pekerja ingin segera pulang kepada keluarganya selepas kerja, dan para perantau tak sabar untuk mudik, melepas rindu akan kampung halaman.
Kesadaran akan perantauan melahirkan kerinduan, sebagaimana keterasingan menumbuhkan hasrat akan rumah.
Keterasingan dan Kerinduan Memang Berpasangan
Sejak lama, keterasingan dan kerinduan telah menjadi benang merah dalam pencarian manusia, dari Timur hingga Barat, dari Rumi hingga Marx.
"Sejak direnggut aku dari rumpunku dulu, ratapan pedihku telah membuat berlinang air mata orang," tulis Rumi dalam Matsnawi-nya. Mungkin seperti seruling itu, kita merindukan sesuatu yang terasa hilang.
Bagi Rumi, manusia adalah makhluk spiritual yang terjebak dalam cangkang materi, selalu merindukan asal-usulnya. Semakin kita terikat dengan dunia materi kita, semakin jiwa kita merasa terasing, dan memperingatkan kita dengan kekosongan, cara jiwa mengungkapkan keriduan akan "kampung halamannya."
Sementara itu, Marx melihat keterasingan dalam bentuk yang berbeda---para pekerja tercerabut dari hasil kerja mereka sendiri, kehilangan makna dalam apa yang mereka lakukan. Hanya menjalani rutinitas yang sama setiap hari. Menurut Marx, mereka tidak hanya mengalami kelelahan fisik, tetapi juga kehilangan sesuatu yang lebih mendasar---hubungan dengan dirinya sendiri.