Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Peringatan Hardiknas 2020: Menyongsong Era Baru Pascapandemi

2 Mei 2020   09:02 Diperbarui: 2 Mei 2020   09:27 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tema Hardiknas Tahun 2020 | olahan pribadi

Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini sangatlah berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Wabah Virus Corona atau Covid-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia telah mengubah kehidupan manusia di semua aspek, termasuk pendidikan. 

Tak heran, jika pada momentum Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei 2020 kali ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mengangkat tema "Belajar dari Covid-19". Sebuah topik yang menurut saya sangat relevan untuk menjadi bahan renungan dan refleksi bagi semua stakeholder pendidikan.

Dalam suatu kesempatan, kawan saya diskusi yang juga pengelola lembaga pendidikan terkemuka di Solo mengatakan, bahwa pandemi ini adalah "berkah" buat kita semua. Menurutnya, banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari musibah ini, terlepas dari dampak negatif yang ditimbulkan. Seperti halnya dalam dunia pendidikan, para guru dan orang tua mau tidak mau dituntut untuk lebih kreatif dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran selama siswa berada di rumah.

Sejak 16 Maret 2020 para siswa sudah mulai belajar dari rumah. Berarti kalau dihitung sampai sekarang, paling tidak sudah tujuh pekan siswa merasakan suasana pembelajaran di rumah. Pertanyaannya, sudahkah siswa benar-benar merasakan belajar dari rumah? Sudahkah terjadi peningkatan kompetensi siswa (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) selama belajar di rumah? Sudahkah siswa merasakan sapaan, interaksi, dan komunikasi yang intens dari gurunya? Sudahkah siswa merasa terbimbing dan termotivasi untuk belajar dari guru-gurunya? Padahal kebijakan belajar dari rumah kemungkinan besar akan terus diperpanjang, bahkan bisa menghabiskan semester awal tahun pelajaran baru nanti.

Euforia Pandemi

Tentu saja yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi adalah murid yang bersangkutan. Di awal-awal pemberlakuan kebijakan belajar di rumah, memang terjadi euforia di kalangan siswa dan guru. Bagi siswa sendiri, ada yang menganggap ini sebagai liburan panjang, yang otomatis terbebas dari segala macam tugas sekolah. Apalagi ujian-ujian sekolah juga ditiadakan. 

Namun tak sedikit dari siswa yang merasa sedih dan kecewa karena tak bisa lagi berinteraksi dengan guru dan teman-temannya secara langsung. Sedangkan bagi guru, saya kira tak beda jauh dengan apa yang dirasakan para siswa, ada yang gembira, sedih, namun ada juga yang menganggap sebagai tantangan untuk melakukan proses pembelajaran jarak jauh atau daring.

Jika melihat fakta di lapangan, Anda yang sebagai orang tua pastilah mengetahui secara pasti bagaimana aktivitas sehari-hari anak di rumah, terutama ketika jam belajar. Apakah konsep belajar di rumah sudah benar-benar dijalankan oleh sekolah dalam hal ini gurunya? Memang di awal-awal, guru terlihat intens menyapa muridnya melalui grup whatsapp kelas. 

Tentu bagi jenjang prasekolah dan sekolah dasar yang menjadi anggota grup adalah orang tuanya. Tak sekadar menyapa, guru pun memberikan tugas-tugas individual untuk dikerjakan di rumah dengan bimbingan orang tuanya. Tak sedikit dari guru yang juga aktif membuat video tutorial pembelajaran yang kemudian dibagikan kepada orang tua dan anak, termasuk diunggah di media sosial. Tetapi seiring berjalannya waktu, semangat dan konsistensi guru dalam pelibatan anak belajar dipertanyakan.

Menurut pengamatan saya, memang terjadi banyak kendala ketika menerapkan pembelajaran jarak jaruh, yang itu bisa datang dari guru maupun siswa atau orang tua di rumah. Jika berasal dari guru, kendala tersebut terkait keahlian atau keterampilan dalam penguasaan teknologi informasi. Seperti skill mengoperasikan aplikasi atau software pembelajaran online, kemampuan membuat dan menyajikan bahan ajar berbasis multimedia, seperti video atau animasi pembelajaran, serta keterbatasan fasilitas yang dimiliki guru, semisal spesifikasi smartphone, ketersediaan laptop, kamera, perangkat audio-visual, dan kebutuhan alat lainnya. 

Tak hanya kendala yang sifatnya teknis, guru pun merasa kesulitan untuk membuat jadwal pembelajaran harian maupun mingguan untuk muridnya. Sehingga terkadang guru hanya secara acak dan tak tentu waktunya dalam menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh. Sudah bisa dipastikan, target dan tujuan pembelajaran dari setiap topik yang dipelajari sulit untuk bisa tercapai.

Sedangkan kendala dari siswa atau orang tua adalah bagaimana mengatur waktu dan mengondisikan anak untuk siap belajar di rumah. Untuk anak-anak jenjang usia dini dan SD tentu masih butuh bimbingan dari orang lain, sehingga orang tua harus menyempatkan waktu untuk mendampingi anak belajar di rumah. Padahal banyak dari kalangan orang tua yang pagi hingga siang hari masih harus bekerja untuk mencari nafkah. Tentu ini menjadi kendala tersendiri. 

Belum lagi bagi orang tua yang tinggal di pedesaan atau daerah pinggiran, persoalan keterbatasan alat komunikasi dan jaringan internet menjadi kendala utama. Maka ada kejadian guru yang akhirnya harus mendatangi muridnya dari rumah ke rumah. Tetapi guru yang seperti ini sangatlah langka, apalagi di tengah-tengah ketakutan akan penyebaran virus.

Era Baru Pascapandemi

Melihat kondisi ini, tentu pada akhirnya akan sepakat, kembali kepada kata "maklum". Artinya segala kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan layanan dan mutu pendidikan akibat dampak Covid-19, kita semua harus "memaklumi". Namun, apakah cukup kita hanya bersikap demikian? Seolah-olah pasrah dengan keadaan? 

Tidakkah kita bisa melakukan upaya dan terobosan-terobosan baru di era pandemi ini? Karena persoalan kita bukan hanya saat ini, tetapi ke depannya. Pandemi ini telah benar-benar mengubah "wajah" dunia. Justru yang terpenting adalah bagaimana kesiapan diri dan generasi kita untuk menyambut era baru pascapandemi. Inilah tantangan terbesar dan terberat yang harus kita hadapi bersama.

Belajar dari Covid-19, berarti bangsa ini dengan semua elemennya harus belajar dan berbenah. Pengaruh Covid-19 tak hanya berdampak pada persoalan ekonomi dan kehidupan sosial yang lebih bersifat jangka pendek, tetapi telah mengubah pula paradigma, mindset, perilaku, sikap, gaya hidup (life style), dan kebiasaan-kebiasaan seseorang. Termasuk perubahan karakteristik peserta didik.

Boleh jadi, kelak ketika pandemi Covid-19 ini telah berakhir, motivasi siswa untuk kembali ke halaman sekolah dan ruang-ruang kelas belajar sangatlah rendah. Perjumpaan dengan guru-guru dan teman-temannya tak lagi menjadi hal yang dirindukan. Papan tulis, kapur tulis, meja-meja kelas, rak buku, dan buku-buku pelajaran yang tebal-tebal, menjadi pemandangan yang tak ingin dilihatnya lagi. Tas sekolah yang biasanya penuh dengan buku dan alat tulis, tak ingin mereka gendong lagi. Suara keras bel sekolah tak ingin didengarkan lagi. Itulah barangkali potret anak ketika pertama kali masuk sekolah setelah wabah Virus Corona berakhir.

Betapa tidak, selama belajar di rumah, hampir setiap hari, setiap jam, setiap detik, jari jemari mereka berselancar di atas layar smartphone, mata tak berkedip memelototi layar monitor, telinga tersumpal earphone, sementara tubuh mereka bergerak ke sana kemari. Mereka belajar sambil berjalan, duduk, berdiri, rebahan, tiduran, atau dlosoran semaunya. 

Tak berhenti di situ, mulutnya pun tak pernah berhenti mengunyah makanan ringan. Jika perut lapar, sewaktu-waktu mereka bisa pergi makan ke dapur. Pun bisa tidur sesukanya ketika mengantuk. Jika mereka mengalami kesusahan, tinggal ketik kata kunci di mesin pencarian internet, bisa pula tanya orang di sekitar, atau mengontak guru dan temannya melalui fasilitas internet. 

Sungguh anak merasakan kebebasan belajar dan bermain tanpa batas. Anak benar-benar mengalami merdeka dalam belajar. Mereka tak lagi terikat oleh waktu dan tempat untuk belajar. Semua yang mereka lihat, dengar, dan rasakan adalah sumber belajar. Belajar bagi mereka adalah proses inkuiri, yaitu upaya untuk menemukan pengetahuan baru dari pengalaman langsung yang dialaminya.

Kemudian, jika merasa jenuh, tidak semangat, atau ingin mengeluarkan unek-uneknya, mereka tinggal menyalakan ponsel dan mulai berbicara sendiri di depan kamera. Jadilah video vlog yang siap diunggah di akun-akun media sosial mereka, seperti facebook, instagram, dan youtube. Nantinya mereka akan melihat respons dan masukan dari para penggemar atau pengguna internet yang melihat videonya. Di sinilah mereka membangun interaksi dan kehidupan sosialnya. Jarak tempat dan waktu sudah bukan lagi hambatan untuk berkomunikasi.

Mengapa saya bisa bercerita seperti ini, karena selama masa pandemi, terjadi peningkatan yang sangat signifikan unggahan video dari kalangan anak dan remaja. Banyak kanal-kanal baru di berbagai platform media sosial, terutama youtube. Jutaan video dengan berbagai tema pembahasan diunggah, mulai dari musik, olahraga, kuliner, humor, berita, teknologi, aktivitas harian, hobi, gaya hidup, atau konten video sembarang yang tanpa makna dan tujuan. Seolah-olah youtube kini menjelma menjadi "sampah" konten video.

Oleh karena itu menurut saya, inilah tantangan sesungguhnya para guru untuk berevolusi terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi secara cepat, terutama menyesuaikan dengan perubahan karakteristik siswa didik pascapandemi. Pusat perhatian guru haruslah anak sebagai objek sekaligus subjek pendidikan. 

Sebelum merencanakan konsep pembelajaran, guru benar-benar memahami kondisi dan potensi setiap individu siswa. Tak hanya pengetahuan dan tingkat intelektualitas, tetapi sikap, emosi, perilaku, gaya belajar, keinginan, cita-cita, dan kebiasaan-kebiasaan anak lainnya. Guru harus mampu menjadi fasilitator yang baik dan bukan menjadi satu-satunya sumber belajar. Guru tak lagi memaknai belajar secara konvensional, yang harus selalu ada tatap muka, ada buku, ada ruang kelas, ada papan tulis, dan ada jadwal yang terikat.

Ke depan guru-guru Indonesia harus mengubah gaya mengajar dengan menaikkan kompetensinya dalam menyajikan pembelajaran yang lebih kekinian, praktis, fleksibel, dan menarik. Bukan hanya di era pandemi guru rajin membuat video tutorial pembelajaran ke anak-anak, justru pascapandemi ini, guru dituntut untuk semakin banyak berkreasi bahan ajar berbasis digital dan online. Terapkan ke anak-anak dengan berbagai aplikasi pembelajaran online, sehingga kapan pun dan di mana pun bisa selalu berinteraksi dengan murid. Bisa jadi ke depan, murid-murid kita adalah followers di media sosial. Selamat Hari Pendidikan Nasional, selamat datang era baru pascapandemi!

Imam Subkhan
Pendidik di Yayasan Lembaga Pendidikan Al Firdaus, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Surakarta, dan Sekretaris BPC Perhumas Surakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun