ADHD dan Kecanduan: Kombinasi Berbahaya yang Sering Terlupakan
Kecanduan bukan sekadar masalah kehendak. Bagi sebagian orang, ia adalah jerat tak kasat mata yang berakar dalam kondisi neurologis yang belum tertangani sejak dini. Salah satu kondisi itu adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) Â dan saya menulis ini bukan sebagai pengamat, tapi sebagai penyandang ADHD itu sendiri.
Saya didiagnosis mengalami ADHD dan disleksia pada usia sembilan tahun. Waktu itu, saya hanya dikenal sebagai "anak yang tak bisa diam", "lambat belajar", dan "sulit fokus". Tak banyak guru atau orang dewasa yang benar-benar memahami bahwa apa yang saya alami bukanlah kenakalan atau kebodohan, melainkan tantangan neurologis yang membutuhkan pendekatan khusus.
Kini, setelah puluhan tahun belajar memahami otak saya sendiri, saya merasa perlu untuk bicara tentang hal yang jarang dibicarakan secara terbuka: hubungan antara ADHD dan kecanduan.
Menurut penelitian yang dipublikasikan oleh Dr. Timothy Wilens dari Harvard Medical School, 50% orang dewasa dengan ADHD memiliki riwayat penyalahgunaan zat, dua kali lipat lebih tinggi dibanding populasi neurotipikal (25%). Ini artinya, satu dari dua orang dengan ADHD kemungkinan besar akan mengalami kecanduan alkohol, narkoba, rokok, judi, atau bahkan perilaku adiktif lainnya seperti pornografi dan media sosial.
Saya ulangi: satu dari dua.
Orang dengan ADHD memiliki sistem dopamin yang berbeda. Dopamin adalah zat kimia di otak yang berkaitan dengan rasa senang, penghargaan, dan motivasi. Dalam otak ADHD, kadar dopamin cenderung lebih rendah, membuat penderitanya rentan mencari "jalan pintas" untuk merasa tenang atau senang. Di sinilah godaan zat adiktif masuk  sebagai "pelarian instan" yang kemudian menjadi kebiasaan destruktif.
Namun kabar baiknya: penanganan ADHD yang tepat waktu bisa menurunkan risiko kecanduan hingga 50% Â menurunkan risiko penderita ADHD menjadi setara dengan populasi neurotipikal.
"Dengan pengobatan yang tepat, anak dan remaja ADHD tidak perlu lagi mencari dopamin dari sumber eksternal yang berbahaya," ujar Dr. Wilens dalam jurnal Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. "Obat stimulan seperti methylphenidate atau terapi perilaku kognitif bisa menstabilkan fungsi otak dan mengurangi impulsivitas."
Artinya, penanganan ADHD sejak dini bukan hanya soal prestasi akademik, tapi juga soal menyelamatkan hidup seseorang dari jerat kecanduan jangka panjang.