Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

ADHD dan Kecanduan: Kombinasi Berbahaya dan Sering Terlupakan

9 Agustus 2025   09:25 Diperbarui: 9 Agustus 2025   13:38 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ADHD (Shutterstock/Motortion Films)

ADHD dan Kecanduan: Kombinasi Berbahaya yang Sering Terlupakan

Kecanduan bukan sekadar masalah kehendak. Bagi sebagian orang, ia adalah jerat tak kasat mata yang berakar dalam kondisi neurologis yang belum tertangani sejak dini. Salah satu kondisi itu adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)  dan saya menulis ini bukan sebagai pengamat, tapi sebagai penyandang ADHD itu sendiri.

Saya didiagnosis mengalami ADHD dan disleksia pada usia sembilan tahun. Waktu itu, saya hanya dikenal sebagai "anak yang tak bisa diam", "lambat belajar", dan "sulit fokus". Tak banyak guru atau orang dewasa yang benar-benar memahami bahwa apa yang saya alami bukanlah kenakalan atau kebodohan, melainkan tantangan neurologis yang membutuhkan pendekatan khusus.

Kini, setelah puluhan tahun belajar memahami otak saya sendiri, saya merasa perlu untuk bicara tentang hal yang jarang dibicarakan secara terbuka: hubungan antara ADHD dan kecanduan.

Menurut penelitian yang dipublikasikan oleh Dr. Timothy Wilens dari Harvard Medical School, 50% orang dewasa dengan ADHD memiliki riwayat penyalahgunaan zat, dua kali lipat lebih tinggi dibanding populasi neurotipikal (25%). Ini artinya, satu dari dua orang dengan ADHD kemungkinan besar akan mengalami kecanduan alkohol, narkoba, rokok, judi, atau bahkan perilaku adiktif lainnya seperti pornografi dan media sosial.

Gambar milik pribadi
Gambar milik pribadi

Saya ulangi: satu dari dua.

Orang dengan ADHD memiliki sistem dopamin yang berbeda. Dopamin adalah zat kimia di otak yang berkaitan dengan rasa senang, penghargaan, dan motivasi. Dalam otak ADHD, kadar dopamin cenderung lebih rendah, membuat penderitanya rentan mencari "jalan pintas" untuk merasa tenang atau senang. Di sinilah godaan zat adiktif masuk  sebagai "pelarian instan" yang kemudian menjadi kebiasaan destruktif.

Namun kabar baiknya: penanganan ADHD yang tepat waktu bisa menurunkan risiko kecanduan hingga 50%  menurunkan risiko penderita ADHD menjadi setara dengan populasi neurotipikal.

"Dengan pengobatan yang tepat, anak dan remaja ADHD tidak perlu lagi mencari dopamin dari sumber eksternal yang berbahaya," ujar Dr. Wilens dalam jurnal Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. "Obat stimulan seperti methylphenidate atau terapi perilaku kognitif bisa menstabilkan fungsi otak dan mengurangi impulsivitas."

Artinya, penanganan ADHD sejak dini bukan hanya soal prestasi akademik, tapi juga soal menyelamatkan hidup seseorang dari jerat kecanduan jangka panjang.

Banyak orang yang mengalami kecanduan dan gagal dalam rehabilitasi karena ADHD mereka tak pernah terdiagnosis. Mereka mengikuti program detoksifikasi, konseling, atau terapi, tetapi terus kambuh karena akar impulsivitas dan disfungsi eksekutif otaknya tak pernah disentuh.

Ini adalah lingkaran setan yang memerangkap banyak anak muda. Saya pernah nyaris masuk ke dalamnya. Rasa gelisah, kesepian, dan ketidakmampuan untuk fokus membuat saya rentan mencari pelarian. Namun untungnya, saya punya akses diagnosis dan dukungan keluarga. Saya tahu tidak semua anak seberuntung saya. Banyak yang tak terdiagnosis, disalahpahami, lalu jatuh ke jurang kecanduan yang dalam.

Sebagai aktivis pendidikan inklusi dan pendiri program "Dyslexia Keliling Nusantara", saya sering menemui anak-anak ADHD yang mulai mencoba rokok di usia SD, atau mulai kecanduan game hingga tak bisa tidur. Mereka bukan anak nakal. Mereka hanya otak-otak sibuk yang berteriak minta bantuan  tapi tak ada yang mendengarkan.

Maka dari itu, jika Anda seorang guru, orangtua, atau pembuat kebijakan: berikan ruang dan dukungan bagi anak-anak ADHD. Diagnosa dini bukanlah label, melainkan pelampung penyelamat.

"Jika kita bisa membantu anak ADHD merasa cukup dalam dirinya, mereka tak akan mencari 'cukup' itu dalam botol, rokok, atau layar."  Imam Setiawan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun