Pernahkah Anda Mendengar Tentang Disleksia?
Mengenal Disleksia Lewat Mata Seorang Penyintas: Dari Anak yang Dianggap Bodoh hingga Mengelilingi Nusantara Demi Mereka yang Terlupakan
Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah tulisan berjudul "Have You Heard of the Condition Called Dyslexia?" Tulisan itu ringan, bahkan jenaka, menceritakan seseorang yang berharap memiliki disleksia hanya agar bisa menyalahkan nilainya yang buruk. Saya tersenyum getir membaca itu. Bukan karena tidak lucu, tetapi karena saya tahu seperti apa rasanya benar-benar hidup dengan disleksia.
Bagi saya, disleksia bukan alasan. Bukan bendera simpati. Dan jelas, bukan bahan lelucon. Disleksia adalah kehidupan saya. Sebuah bagian dari diri yang dulu membuat saya nyaris menyerah.
Saya didiagnosis disleksia dan ADHD di usia 9 tahun. Sebelumnya, saya hanya dikenal sebagai anak yang "bodoh", "pemalas", dan "pengganggu kelas". Guru mencap saya sebagai anak yang sulit diatur, teman-teman menjauhi saya karena saya dianggap aneh, dan saya sendiri... tumbuh dengan rasa malu dan bingung: kenapa saya tidak bisa seperti mereka?
Membaca bagi saya dulu seperti melihat huruf-huruf yang berdansa di halaman buku. Kalimat yang baru saya baca di baris pertama bisa hilang begitu saja dari kepala, bahkan sebelum saya sempat memahami artinya. Menulis adalah perjuangan menggenggam makna yang licin, sementara angka dan simbol matematika seperti permainan sulap yang mustahil ditebak.
ADHD membuat semuanya semakin rumit. Pikiran saya tak pernah diam. Saat guru menjelaskan pelajaran, saya sudah melayang entah ke mana, membayangkan langit, dinosaurus, atau bentuk-bentuk awan. Saya seperti radio yang menangkap terlalu banyak frekuensi sekaligus dan semuanya saling bertabrakan.
Namun yang paling menyakitkan bukanlah kesulitan membaca atau fokus. Yang paling menyakitkan adalah ketika orang-orang di sekitar tidak percaya bahwa saya sedang berjuang. Bahwa saya bukan bodoh. Saya hanya berbeda.
Menurut International Dyslexia Association, disleksia adalah gangguan neurologis yang memengaruhi cara otak memproses bahasa. Anak dengan disleksia kesulitan dalam membaca, mengeja, dan mengenali kata-kata dengan cepat dan akurat. Mereka bukan malas, bukan tidak pintar, hanya otaknya bekerja dengan cara yang unik.
Fakta dari lapangan menunjukkan bahwa 15-20% anak di Indonesia mungkin mengalami gangguan belajar seperti disleksia. Namun sangat sedikit yang terdeteksi dan mendapatkan dukungan yang layak. Banyak sekolah masih belum memiliki pemahaman yang memadai tentang disleksia. Anak-anak ini pun akhirnya tumbuh dengan luka batin, label negatif, dan rasa percaya diri yang hancur.
Sayangnya, sebagian masyarakat masih menganggap disleksia sebagai dalih. Sebagai "penyakit buatan" atau "kondisi barat" yang tidak nyata. Bahkan ada pula yang menggunakan istilah ini secara asal, untuk membenarkan kemalasan atau kegagalan. Ini sangat menyakitkan bagi kami yang hidup dengan kondisi ini setiap hari.