Murid Tiri : Sekolah Ini Milik Semua Anak
"Aku berdiri di depan gerbang sekolah, menatap bangunan itu dengan rasa campur aduk. Di dalam sana, anak-anak seharusnya tumbuh. Tapi tidak untukku. Tidak untuk kami yang diberi label. Murid tiri. Bukan karena kami tak mampu, tapi karena kami tak dianggap."
Indonesia telah lama membanggakan diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi asas keadilan sosial dan hak pendidikan untuk semua. Namun kenyataan di lapangan sering kali memperlihatkan wajah yang lain: anak-anak dengan kebutuhan khusus, anak-anak dari kelompok minoritas, anak-anak miskin, bahkan mereka yang berpikir dan belajar dengan cara berbeda  dianggap "tidak cukup layak" berada di ruang kelas yang sama.
Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2023, baru sekitar 18% anak berkebutuhan khusus yang mendapatkan akses pendidikan inklusif yang layak. Sisanya terpinggirkan, masuk sekolah seadanya, atau bahkan tidak sekolah sama sekali. Mereka dianggap "mengganggu", "menghambat pembelajaran kelas", atau "tidak sesuai standar".
Sebagian besar dari mereka tidak keluar dari sistem pendidikan. Mereka didorong keluar.
Label seperti "bodoh", "nakal", "anak spesial", hingga "tidak normal" menjadi senjata yang tidak terlihat tapi sangat melukai. Anak-anak ini hidup dengan stigma, menjadi bahan olok-olok teman, bahkan dijauhi oleh guru. Sebuah penelitian dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) tahun 2022 mencatat, 1 dari 3 anak dengan kebutuhan khusus di sekolah formal pernah mengalami bullying, baik secara verbal maupun sosial.
Padahal, Albert Bandura dalam teorinya tentang Social Learning menyatakan bahwa perilaku anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Jika lingkungan sekolah tidak ramah dan penuh diskriminasi, maka anak-anak akan belajar bahwa mengejek dan mengucilkan adalah hal yang "wajar". Maka jangan heran jika kekerasan yang terjadi di sekolah hari ini sesungguhnya adalah kekerasan yang diajarkan  secara diam-diam  oleh sistem yang tidak adil.
Kesenjangan bukan hanya pada aspek fisik, tetapi juga dalam kurikulum, metode pembelajaran, hingga pola komunikasi. Anak yang berbeda tidak disiapkan ruang untuk berkembang sesuai potensi mereka. Guru pun tak selalu dibekali pemahaman untuk menghadapi keragaman gaya belajar anak.
Menurut UNICEF Indonesia, kurang dari 40% guru di sekolah negeri memiliki pelatihan khusus tentang pendidikan inklusi. Artinya, lebih dari separuh tenaga pendidik kita mungkin tidak siap ketika harus menghadapi anak dengan disleksia, ADHD, atau spektrum autisme.
Lalu siapa yang disalahkan ketika anak itu tidak "berhasil"? Tentu saja anak itu sendiri. Lagi-lagi.
"Aku tidak ingin jadi juara kelas. Aku hanya ingin tidak dianggap beban. Aku ingin bisa belajar tanpa takut dikatai 'aneh'. Aku ingin guru menyapa namaku, bukan melirik sinis. Aku ingin sekolah ini juga milikku. Karena aku juga anak bangsa."
Suara ini adalah suara anak-anak yang selama ini terbungkam. Tapi ketika suara-suara kecil ini berkumpul, ia akan menjadi gaung. Jika negara terus lalai, jika guru terus menutup mata, dan jika sistem terus mengabaikan, maka suara ini akan tumbuh menjadi perlawanan. Perlawanan dalam bentuk gerakan, komunitas, sekolah alternatif, dan guru-guru harapan.
Inilah revolusi sunyi yang tengah terjadi: sekelompok orang tua membentuk homeschooling untuk anak-anak spesial mereka, komunitas guru membangun pelatihan berbasis empati, anak-anak saling menguatkan lewat solidaritas dan seni, dan para penyintas tumbuh menjadi pendidik baru.
Sekolah tidak boleh menjadi ruang eksklusif bagi yang cepat, yang tenang, dan yang memenuhi "standar". Sekolah adalah rumah bagi semua anak, termasuk mereka yang lambat, berbeda, atau tak biasa. Jika sekolah hanya merangkul anak-anak yang sempurna, maka ia gagal sebagai institusi pendidikan.
Pendidikan sejati bukan mencetak keseragaman, tapi merawat keberagaman.
"Jika sebuah sekolah menolak satu anak karena perbedaan, maka sekolah itu telah gagal menjalankan kemanusiaan."
"Revolusi tidak selalu terdengar di jalanan, kadang ia berbisik di ruang kelas yang melawan diskriminasi." Â Imam Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI