Lalu siapa yang disalahkan ketika anak itu tidak "berhasil"? Tentu saja anak itu sendiri. Lagi-lagi.
"Aku tidak ingin jadi juara kelas. Aku hanya ingin tidak dianggap beban. Aku ingin bisa belajar tanpa takut dikatai 'aneh'. Aku ingin guru menyapa namaku, bukan melirik sinis. Aku ingin sekolah ini juga milikku. Karena aku juga anak bangsa."
Suara ini adalah suara anak-anak yang selama ini terbungkam. Tapi ketika suara-suara kecil ini berkumpul, ia akan menjadi gaung. Jika negara terus lalai, jika guru terus menutup mata, dan jika sistem terus mengabaikan, maka suara ini akan tumbuh menjadi perlawanan. Perlawanan dalam bentuk gerakan, komunitas, sekolah alternatif, dan guru-guru harapan.
Inilah revolusi sunyi yang tengah terjadi: sekelompok orang tua membentuk homeschooling untuk anak-anak spesial mereka, komunitas guru membangun pelatihan berbasis empati, anak-anak saling menguatkan lewat solidaritas dan seni, dan para penyintas tumbuh menjadi pendidik baru.
Sekolah tidak boleh menjadi ruang eksklusif bagi yang cepat, yang tenang, dan yang memenuhi "standar". Sekolah adalah rumah bagi semua anak, termasuk mereka yang lambat, berbeda, atau tak biasa. Jika sekolah hanya merangkul anak-anak yang sempurna, maka ia gagal sebagai institusi pendidikan.
Pendidikan sejati bukan mencetak keseragaman, tapi merawat keberagaman.
"Jika sebuah sekolah menolak satu anak karena perbedaan, maka sekolah itu telah gagal menjalankan kemanusiaan."
"Revolusi tidak selalu terdengar di jalanan, kadang ia berbisik di ruang kelas yang melawan diskriminasi." Â Imam Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI