Murid Tiri : Papan Tulis Tak Menulis Nama Kami
Di dalam ruang kelas negeri ini, ada anak-anak yang hadir setiap hari, tapi tak pernah benar-benar dilihat. Mereka datang pagi-pagi, duduk diam di sudut kelas, namun tak satu pun catatan pelajaran menyebut nama mereka. Tak ada yang bertanya, "Kamu sudah paham?" Tak ada yang menunggu mereka mengeja satu kalimat pun. Mereka adalah murid-murid tiri dalam sistem pendidikan kita anak-anak dengan disleksia, anak-anak dengan autisme, dengan ADHD, anak-anak dari pelosok desa yang tak tahu huruf, anak-anak yang berjuang bukan karena malas, tetapi karena sistem tak menyapa mereka.
Setiap tahun, ribuan anak kehilangan tempatnya di sekolah. Ada yang diberhentikan diam-diam dengan alasan tidak mampu mengikuti pelajaran, ada yang dikucilkan perlahan hingga akhirnya memilih berhenti sendiri. Di satu sisi, kita bicara tentang pendidikan untuk semua, tentang inklusi, tentang hak belajar. Tapi di sisi lain, di ruang-ruang kelas, nama mereka bahkan tak pernah ditulis di papan tulis.
Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023 mencatat bahwa dari sekitar 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia, hanya 18% yang tercatat bersekolah, baik di sekolah umum maupun luar biasa. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah wajah-wajah anak yang tidak dianggap cukup penting untuk disiapkan masa depannya.
Sebuah laporan dari UNICEF Indonesia tahun 2022 bahkan menyebut bahwa anak berkebutuhan khusus masih menghadapi diskriminasi sistemik, termasuk penolakan dari sekolah, tidak adanya guru yang terlatih, dan kurikulum yang kaku. Tak hanya itu, banyak dari mereka dianggap hanya cocok untuk "diluluskan kasihan", tanpa benar-benar diberikan akses belajar yang bermakna.
Padahal para pakar sudah sejak lama bersuara. Lev Vygotsky dalam teori Zone of Proximal Development menyatakan bahwa anak dapat berkembang jauh lebih baik ketika mendapatkan dukungan sosial yang tepat. Artinya, setiap anak termasuk yang berbeda cara belajarnya punya potensi untuk tumbuh, jika sistem dan orang-orang dewasa di sekelilingnya hadir dengan strategi, bukan hanya ekspektasi.
Howard Gardner pun mengingatkan kita melalui Teori Kecerdasan Majemuk, bahwa kecerdasan bukan hanya satu rupa. Bukan hanya soal logika-matematika atau bahasa. Ada anak yang hebat menggambar, menyanyi, memahami perasaan, atau berpikir dengan gerakan. Tapi sayangnya, sekolah kita hanya menghargai satu dua jenis kecerdasan, dan menyebut sisanya sebagai "bodoh", "lambat", atau "gangguan". Ironisnya, dalam sistem yang katanya inklusif, justru makin banyak anak yang merasa tersingkirkan.
Saat menjalankan projek Disleksia Keliling Nusantara, Saya pernah mendampingi seorang anak perempuan dengan disabilitas intelektual di daerah pedalaman. Namanya Tiara. Ia duduk di kelas 3 SD tapi belum bisa membaca. Setiap kali diminta maju ke depan kelas, ia akan menunduk, memeluk tasnya erat-erat. Gurunya pernah berkata, "Pak, anak ini sepertinya memang tidak punya bakat sekolah."
Namun setelah dua bulan pendekatan individual dan strategi visual, Tiara mulai berani mengeja. Matanya berbinar saat bisa membaca namanya sendiri: T-I-A-R-A. Saya menangis saat itu. Bukan karena bangga, tapi karena membayangkan berapa banyak Tiara lain di luar sana yang tak pernah diberi kesempatan mencoba. Guru yang awalnya pesimis, mulai berubah. "Saya malu sendiri, Pak. Ternyata bukan dia yang salah. Saya yang tidak tahu caranya," katanya.
Para pakar inklusi seperti Booth dan Ainscow lewat Index for Inclusion menekankan bahwa inklusi sejati bukan tentang memaksa anak masuk ke sistem yang sama, tapi mengubah sistem agar bisa memeluk keberagaman. Guru tidak bisa lagi hanya menjadi penyampai materi, tapi harus menjadi perancang lingkungan belajar yang adil.
Namun tantangan besar terletak pada pendidikan guru itu sendiri. Menurut survei internal Puskur Kemendikbudristek, hanya 30% guru di Indonesia yang pernah mendapatkan pelatihan tentang pendidikan inklusi. Banyak guru akhirnya kebingungan, lelah, frustrasi, dan tanpa sadar melabeli anak dengan istilah-istilah negatif. Pendidikan inklusif tidak akan pernah berhasil jika kita hanya mengandalkan niat baik tanpa ilmu. Ia memerlukan pelatihan, pendampingan, dan kebijakan yang berpihak.
Saya percaya bahwa guru Indonesia punya hati. Tapi hati saja tidak cukup. Kita perlu mata untuk melihat, telinga untuk mendengar cerita anak-anak yang berbeda, dan tangan untuk menyentuh mereka bukan hanya dengan nilai, tapi dengan empati.
Papan tulis di ruang kelas selama ini terlalu steril. Isinya rumus dan kalimat, tapi tak pernah menuliskan perjuangan anak yang tak bisa mengeja. Papan itu harus berubah. Kita harus mulai menulis nama-nama yang selama ini tak pernah dianggap penting: Adi yang selalu dihukum karena tidak bisa diam; Sari yang diejek karena lambat menulis; Dimas yang dikeluarkan karena "mengganggu teman".
Mereka bukan gangguan. Mereka adalah bagian dari kelas. Bagian dari bangsa. Dan bagian dari masa depan. Mendidik bukan soal menyeleksi siapa yang layak lanjut dan siapa yang tidak. Mendidik adalah tentang menjangkau semua, terutama yang selama ini tertinggal. Kita tidak bisa membiarkan anak-anak ini terus menjadi murid tiri. Mereka bukan bayangan. Mereka nyata. Dan mereka layak disebut namanya.
"Jika papan tulis tak mau menuliskan nama kami, maka kami akan menciptakan papan kami sendiri yang tak hanya mencatat huruf, tapi juga harapan." Â Imam Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI