Namun tantangan besar terletak pada pendidikan guru itu sendiri. Menurut survei internal Puskur Kemendikbudristek, hanya 30% guru di Indonesia yang pernah mendapatkan pelatihan tentang pendidikan inklusi. Banyak guru akhirnya kebingungan, lelah, frustrasi, dan tanpa sadar melabeli anak dengan istilah-istilah negatif. Pendidikan inklusif tidak akan pernah berhasil jika kita hanya mengandalkan niat baik tanpa ilmu. Ia memerlukan pelatihan, pendampingan, dan kebijakan yang berpihak.
Saya percaya bahwa guru Indonesia punya hati. Tapi hati saja tidak cukup. Kita perlu mata untuk melihat, telinga untuk mendengar cerita anak-anak yang berbeda, dan tangan untuk menyentuh mereka bukan hanya dengan nilai, tapi dengan empati.
Papan tulis di ruang kelas selama ini terlalu steril. Isinya rumus dan kalimat, tapi tak pernah menuliskan perjuangan anak yang tak bisa mengeja. Papan itu harus berubah. Kita harus mulai menulis nama-nama yang selama ini tak pernah dianggap penting: Adi yang selalu dihukum karena tidak bisa diam; Sari yang diejek karena lambat menulis; Dimas yang dikeluarkan karena "mengganggu teman".
Mereka bukan gangguan. Mereka adalah bagian dari kelas. Bagian dari bangsa. Dan bagian dari masa depan. Mendidik bukan soal menyeleksi siapa yang layak lanjut dan siapa yang tidak. Mendidik adalah tentang menjangkau semua, terutama yang selama ini tertinggal. Kita tidak bisa membiarkan anak-anak ini terus menjadi murid tiri. Mereka bukan bayangan. Mereka nyata. Dan mereka layak disebut namanya.
"Jika papan tulis tak mau menuliskan nama kami, maka kami akan menciptakan papan kami sendiri yang tak hanya mencatat huruf, tapi juga harapan." Â Imam Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI