"Sekolah Itu Neraka : Suara dari Pojok Kelas"
Kata orang, sekolah itu tempat menimba ilmu. Tempat mencetak masa depan. Tempat anak-anak tumbuh menjadi versi terbaik dari dirinya. Tapi, boleh aku jujur?
Bagiku, dulu sekolah itu seperti neraka yang baunya campur aduk antara spidol boardmarker, debu kapur, keringat anak-anak yang cemas, dan suara bel yang rasanya menusuk sampai ke dalam dada.
Setiap pagi aku datang bukan dengan semangat, tapi dengan perut mual. Bukan karena sarapan nasi goreng yang terlalu pedas, tapi karena cemas yang meletup-letup di dada.
"Apa hari ini aku akan dipermalukan lagi?"
"Apa aku bisa bertahan tanpa dimarahi guru?"
"Apa aku bisa pura-pura paham agar tak disuruh maju ke depan kelas?"
Karena kelas, buatku, bukan ruang belajar. Tapi panggung siksaan.
Ketika guru menyuruh membaca huruf-huruf itu berdansa di kepalaku, melompat-lompat tanpa irama. Aku langsung angkat tangan, pura-pura mules, buru-buru ke toilet.
Saat guru menulis soal matematika di papan angka-angka itu berubah jadi simbol asing yang seolah mengejek. Dan aku hanya bisa menatap kosong.
Huruf dan angka dua hal yang paling sederhana bagi banyak orang adalah musuh yang tak pernah mau berdamai denganku.
Tapi yang paling menyakitkan bukan pelajaran. Tapi komentar-komentar yang entah disadari atau tidak, membuat luka dalam yang tak kelihatan:
"Masa gini aja nggak bisa sih?"
"Kamu itu gimana sih, Imam? Temanmu bisa, kamu nggak."
"Lain kali, jangan males!"
Setiap kalimat itu seperti cambuk tak kasat mata. Dan aku mulai percaya: mungkin aku memang bodoh. Mungkin aku memang payah.
Padahal aku bukan malas. Aku hanya lelah... lelah berpura-pura menjadi seperti yang mereka harapkan.
Aku sering pura-pura tidur saat belajar. Kadang sengaja bikin masalah kecil biar disuruh keluar kelas. Karena buatku, berdiri di lorong lebih baik... daripada duduk di kelas dan merasa seperti pecundang.
Tapi tak ada yang bertanya, "Kenapa Imam begitu?"
Tak ada yang curiga, "Mengapa anak ini lebih sering ke toilet saat pelajaran membaca?"
Tak ada yang berpikir, "Mungkin ada yang salah dengan sistemnya... bukan anaknya."
Aku disleksia. Aku ADHD. Dan dulu, aku tidak tahu itu. Aku hanya tahu: aku berbeda. Tapi tak ada yang bisa menjelaskan kenapa.