Guru yang tadinya kuat mulai goyah, mulai bertanya, "Apakah ini masih layak diperjuangkan?"
Aku mengajar bukan sekadar karena aku peduli, tapi karena aku tahu betapa pentingnya peran guru yang memahami anak dengan perbedaan.Â
Aku melihat siswa-siswaku mereka yang kesulitan membaca, menulis, menghitung dan aku tahu perasaan mereka. Aku ingin menjadi guru yang dulu tidak pernah kumiliki. Namun, bahkan aku yang begitu mencintai profesi ini, sering kali bertanya: Apakah aku bisa bertahan?
Seorang anak ADHD sepertiku paham bagaimana tekanan yang tak berkesudahan bisa menghancurkan mental. Guru yang mengalami kelelahan kronis (burnout) mengalami stres yang sama seperti individu dengan PTSD (Dworkin et al., 2021).Â
Tekanan tanpa dukungan akhirnya menciptakan jurang dalam psikologis guru: kehilangan motivasi, kehilangan makna, kehilangan semangat.
Bagaimana mungkin kita mengharapkan guru tetap bertahan dalam sistem yang lebih sering menghukum daripada mendukung mereka?
Solusinya bukan sekadar menaikkan gaji. Ya, itu penting. Tapi lebih dari itu, guru butuh dihormati. Mereka butuh dukungan psikologis, kebijakan yang berpihak, lingkungan kerja yang sehat.Â
Administrasi sekolah harus berhenti melihat guru sebagai tenaga kerja yang bisa diganti kapan saja.Â
Orang tua harus berhenti memperlakukan guru sebagai musuh. Masyarakat harus berhenti menganggap pekerjaan guru hanya sebatas "mengajar di kelas."
John Hattie (2009) dalam risetnya tentang pengaruh guru terhadap prestasi siswa menyatakan bahwa guru adalah faktor kunci dalam keberhasilan belajar siswa. Namun, bagaimana mungkin guru bisa menjadi faktor keberhasilan jika mereka sendiri tidak diberdayakan?
Kita tak bisa terus berharap guru menjadi martir. Kita tak bisa terus meminta mereka bertahan dalam sistem yang membunuh semangat mereka pelan-pelan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!