Guru, Jangan Pergi!
Aku adalah seorang guru. Bukan sekadar profesi, tapi panggilan jiwa. Sebagai seseorang yang memiliki disleksia dan ADHD, aku tahu betul bagaimana rasanya berjuang dalam sistem pendidikan yang tak selalu memahami perbedaan.Â
Aku dulu dianggap "anak nakal," "malas," bahkan "bodoh" hanya karena otakku bekerja dengan cara yang berbeda. Kini, aku berada di sisi lain: menjadi guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus, anak-anak yang sering disalahpahami seperti dulu aku disalahpahami.
Namun, realitanya? Aku melihat rekan-rekan sesama guru menyerah satu per satu.Â
Mereka pergi, bukan karena mereka tak peduli, tetapi karena sistem membuat mereka lelah. Aku paham mengapa mereka meninggalkan kelas, dan sejujurnya, aku sendiri pernah berada di titik nyaris menyerah.
Sebelum pandemi, pendidikan sudah rapuh. Guru harus mengorbankan waktu pribadi, kesehatan mental, dan keluarganya demi memastikan bahwa setiap anak mendapatkan pendidikan yang layak.Â
Tetapi pandemi datang, dan semuanya menjadi lebih buruk. Guru diminta beradaptasi dengan cepat: dari mengajar daring, hibrida, hingga kembali ke kelas dengan tekanan lebih besar.Â
Mereka harus memahami kondisi siswa, tapi tetap tegas. Harus fleksibel, tapi tetap disiplin. Harus memahami trauma siswa, tapi juga tak boleh terlalu lunak. Seolah-olah mereka adalah manusia super yang tak boleh lelah, tak boleh salah.
Lalu apa yang guru dapatkan? Tuduhan sebagai pemalas. Dicurigai tidak bekerja cukup keras. Dijadikan sasaran kemarahan orang tua dan politisi yang seakan lupa bahwa merekalah yang menciptakan sistem ini.Â
Guru yang tadinya kuat mulai goyah, mulai bertanya, "Apakah ini masih layak diperjuangkan?"
Aku mengajar bukan sekadar karena aku peduli, tapi karena aku tahu betapa pentingnya peran guru yang memahami anak dengan perbedaan.Â
Aku melihat siswa-siswaku mereka yang kesulitan membaca, menulis, menghitung dan aku tahu perasaan mereka. Aku ingin menjadi guru yang dulu tidak pernah kumiliki. Namun, bahkan aku yang begitu mencintai profesi ini, sering kali bertanya: Apakah aku bisa bertahan?
Seorang anak ADHD sepertiku paham bagaimana tekanan yang tak berkesudahan bisa menghancurkan mental. Guru yang mengalami kelelahan kronis (burnout) mengalami stres yang sama seperti individu dengan PTSD (Dworkin et al., 2021).Â
Tekanan tanpa dukungan akhirnya menciptakan jurang dalam psikologis guru: kehilangan motivasi, kehilangan makna, kehilangan semangat.
Bagaimana mungkin kita mengharapkan guru tetap bertahan dalam sistem yang lebih sering menghukum daripada mendukung mereka?
Solusinya bukan sekadar menaikkan gaji. Ya, itu penting. Tapi lebih dari itu, guru butuh dihormati. Mereka butuh dukungan psikologis, kebijakan yang berpihak, lingkungan kerja yang sehat.Â
Administrasi sekolah harus berhenti melihat guru sebagai tenaga kerja yang bisa diganti kapan saja.Â
Orang tua harus berhenti memperlakukan guru sebagai musuh. Masyarakat harus berhenti menganggap pekerjaan guru hanya sebatas "mengajar di kelas."
John Hattie (2009) dalam risetnya tentang pengaruh guru terhadap prestasi siswa menyatakan bahwa guru adalah faktor kunci dalam keberhasilan belajar siswa. Namun, bagaimana mungkin guru bisa menjadi faktor keberhasilan jika mereka sendiri tidak diberdayakan?
Kita tak bisa terus berharap guru menjadi martir. Kita tak bisa terus meminta mereka bertahan dalam sistem yang membunuh semangat mereka pelan-pelan.
"Jika kita ingin masa depan yang lebih baik untuk anak-anak kita, pertama-tama kita harus menciptakan dunia yang lebih baik bagi guru kita."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI