Guru, Jangan Pergi!
Aku adalah seorang guru. Bukan sekadar profesi, tapi panggilan jiwa. Sebagai seseorang yang memiliki disleksia dan ADHD, aku tahu betul bagaimana rasanya berjuang dalam sistem pendidikan yang tak selalu memahami perbedaan.Â
Aku dulu dianggap "anak nakal," "malas," bahkan "bodoh" hanya karena otakku bekerja dengan cara yang berbeda. Kini, aku berada di sisi lain: menjadi guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus, anak-anak yang sering disalahpahami seperti dulu aku disalahpahami.
Namun, realitanya? Aku melihat rekan-rekan sesama guru menyerah satu per satu.Â
Mereka pergi, bukan karena mereka tak peduli, tetapi karena sistem membuat mereka lelah. Aku paham mengapa mereka meninggalkan kelas, dan sejujurnya, aku sendiri pernah berada di titik nyaris menyerah.
Sebelum pandemi, pendidikan sudah rapuh. Guru harus mengorbankan waktu pribadi, kesehatan mental, dan keluarganya demi memastikan bahwa setiap anak mendapatkan pendidikan yang layak.Â
Tetapi pandemi datang, dan semuanya menjadi lebih buruk. Guru diminta beradaptasi dengan cepat: dari mengajar daring, hibrida, hingga kembali ke kelas dengan tekanan lebih besar.Â
Mereka harus memahami kondisi siswa, tapi tetap tegas. Harus fleksibel, tapi tetap disiplin. Harus memahami trauma siswa, tapi juga tak boleh terlalu lunak. Seolah-olah mereka adalah manusia super yang tak boleh lelah, tak boleh salah.
Lalu apa yang guru dapatkan? Tuduhan sebagai pemalas. Dicurigai tidak bekerja cukup keras. Dijadikan sasaran kemarahan orang tua dan politisi yang seakan lupa bahwa merekalah yang menciptakan sistem ini.Â