Mohon tunggu...
imam buchori
imam buchori Mohon Tunggu... Mahasiswa

saya suka olahraga sepakbola, hobi olahraga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

RESENSI VIDEO DOKUMENTER THE SCAVENGERS : Kisah Para Pemulung di Bantargerbang

9 Maret 2025   13:23 Diperbarui: 9 Maret 2025   13:23 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bantargebang: Gunung Harapan di Tengah Tumpukan Sampah 

Bantargebang, sebuah wilayah yang mungkin terlewatkan dalam peta pariwisata, namun menyimpan denyut nadi kehidupan bagi ribuan pemulung. Di balik tumpukan sampah yang menjulang tinggi, tersembunyi bukan hanya limbah kota, tetapi juga mozaik kisah perjuangan, secercah harapan, dan luka ketidakadilan yang menganga. Bantargebang, bagi mereka yang terpinggirkan, adalah "gunung harapan", sebuah tempat di mana mereka menggantungkan asa di tengah keterbatasan yang mengimpit. Setiap fajar menyingsing, sebelum hangatnya mentari menyentuh bumi, para pemulung Bantargebang telah memulai aktivitas mereka. Rutinitas mereka bukan tentang menikmati secangkir kopi hangat atau membaca koran pagi, melainkan tentang mengurus keluarga, menyiapkan bekal seadanya, dan bergegas menuju tempat kerja yang penuh risiko. Bagi mereka, tumpukan sampah bukan sekadar limbah yang dibuang oleh masyarakat kota, melainkan sumber penghidupan, ladang di mana mereka memilah, mengumpulkan, dan menjual barang-barang bekas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mendesak.

Di antara ribuan wajah yang menghiasi Bantargebang, ada Siti Nurcani, seorang ibu muda berusia 29 tahun yang telah akrab dengan tumpukan sampah sejak kecil. Ia menikah muda, sebuah keputusan yang diambil untuk meringankan beban orang tuanya, dan kini harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Baginya, Bantargebang adalah tempat mencari nafkah, meski harus berhadapan dengan risiko kesehatan dan keselamatan yang mengintai setiap saat.

Kisah Pak Darka, seorang pemulung berusia 70 tahun, juga tak kalah memilukan. Ia telah menghabiskan puluhan tahun hidupnya di Bantargebang, mengais rezeki dari tumpukan sampah. Suatu hari, ia mengalami kecelakaan kerja yang membuatnya cacat, namun ia tak menyerah dan terus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Baginya, Bantargebang adalah tempatnya mengais rezeki, meski harus berhadapan dengan risiko yang mengancam nyawa. Kondisi kerja para pemulung di Bantargebang sangat memprihatinkan. Mereka bekerja dengan alat seadanya, tanpa perlindungan yang memadai. Mereka berisiko tertimbun sampah, terluka oleh benda tajam, dan terpapar bahan kimia berbahaya yang mengancam kesehatan. Kecelakaan kerja sering terjadi, bahkan ada yang sampai merenggut nyawa.

Selain risiko keselamatan, para pemulung juga menghadapi masalah kesehatan yang serius. Mereka rentan terhadap berbagai penyakit akibat kondisi kerja dan lingkungan tempat tinggal yang buruk. Banyak dari mereka tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan yang layak, dan hanya bisa mengandalkan pengobatan tradisional atau bantuan dari sesama pemulung. Penghasilan para pemulung tidak menentu dan seringkali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka tinggal di gubuk-gubuk sederhana dengan sanitasi yang buruk, tanpa akses air bersih dan listrik yang memadai. Mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan pendidikan anak-anak mereka. Meski hidup dalam kondisi yang sulit, para pemulung tidak kehilangan harapan. Mereka terus berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka berharap pemerintah memberikan perhatian dan bantuan yang lebih baik, serta mengakui profesi mereka sebagai pekerjaan yang layak. Mereka juga berharap masyarakat tidak lagi memandang rendah profesi mereka, dan menghargai kontribusi mereka dalam menjaga kebersihan kota.

Para pemulung memiliki kontribusi besar dalam mengurangi volume sampah di Jakarta. Mereka adalah pahlawan lingkungan yang tak terlihat, yang berjasa dalam menjaga kebersihan kota. Namun, mereka seringkali tidak dihargai dan bahkan didiskriminasi oleh masyarakat. Mereka dianggap sebagai kelompok marginal yang tidak memiliki peran penting dalam pembangunan.

Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) hadir untuk memperjuangkan hak-hak pemulung. Organisasi ini memberikan bantuan saat sakit atau kecelakaan, dan mengurus berbagai keperluan administrasi. IPI juga mengadvokasi pemerintah untuk memberikan perhatian dan bantuan yang lebih baik kepada pemulung, serta memberikan pelatihan dan modal usaha agar mereka dapat memiliki pekerjaan yang lebih layak. Kehidupan para pemulung di Bantargebang adalah cerminan dari ketidakadilan sosial yang terjadi di Indonesia. Mereka adalah kelompok masyarakat yang termarginalkan dan terlupakan, yang membutuhkan perhatian dan bantuan dari pemerintah dan masyarakat.

Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk meningkatkan kesejahteraan para pemulung. Pemerintah perlu memberikan jaminan sosial, akses terhadap fasilitas kesehatan, dan pendidikan bagi anak-anak pemulung. Pemerintah juga perlu memberikan pelatihan dan modal usaha agar pemulung dapat memiliki pekerjaan yang lebih layak, serta memberikan perlindungan hukum dan pengakuan profesi. Masyarakat juga perlu mengubah pandangan mereka terhadap pemulung. Mereka bukan kelompok marginal yang tidak berguna, melainkan pahlawan lingkungan yang berjasa dalam menjaga kebersihan kota. Masyarakat perlu menghargai dan menghormati profesi mereka, serta memberikan dukungan dan bantuan yang diperlukan.

Bantargebang bukan hanya sekadar tempat pembuangan sampah, melainkan juga tempat di mana harapan dan perjuangan bertemu. Bantargebang adalah tempat di mana manusia berjuang untuk hidup, meski di tengah keterbatasan dan ketidakadilan. Bantargebang adalah potret buram dari ketimpangan sosial yang masih menghantui Indonesia, yang membutuhkan perhatian dan tindakan nyata dari semua pihak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun