Sebagai Mahasiswa, saya sangat mengamati bahwa demokrasi tidak boleh berhenti di pemilu, melainkan harus dijaga dengan kebebasan berpendapat, transparansi, dan kontrol sosial. Tahun 2025 seharusnya menjadi babak baru bagi demokrasi Indonesia. Namun kenyataannya, ruang kebebasan justru terasa semakin sempit.
Kamu tahu gak? waktu februari 2025 kemarin mahsiswaa se-indonesia ngadain aksi besar besaran yang disebut #IndonesiaGelap ? Aksi itu bukan sekedar unjuk rasa iseng,itu bentuk protes nyata bahwa demokrasi kita sedang diuji. Demonstrasi besar #IndoneisaGelap yang berlangsung menjadi potret jelas bahwa suara rakyat kini semakin sulit didengar. Gelombang unjuk rasa besar-besaran, seperti demokrasi #IndonesiaGelap dan aksi protes terhadap tunjangan anggota DPR, memperlihatkan bahwa keretakan kepercayaan publik semakin nyata.
      Aksi tersebut berasal dari kebijakan pemerintah melaluuin intruksi presiden no 1 tahun 2025 yang memangkas anggaran hingga Rp306,7 triliun. Banyak pihak menilai langkah ini tidak transparan dan berpotensi menekan sektor publik, termasuk pendidikan dan kesejahteraan sosial. Ditengah keresahan itu, pernyataan sejumlah penjabat publik yang terkesan meremehkan kritik justru memperkeruh suasana.
Saya sebagai mahasiswa sangat bertanya-tanya, apakah masih ada ruang bagi rakyat untuk bersuara? bahkan beberapa mahasiswa yang mencoba menyuarakan aspirasi justru dihadapkan pada represi.Â
Sebagai mahasiswa, rasanya menyakitkan ketika kita bersuara dianggap ribut, ketika kita diam dianggap apatis. Ditengah tuntutan serius, sejumlah kebijakan justru diperkenalkan tanpa ruang dialog memadai. Ini membuat demokrasi  terasa seperti panggung sandiwara. Demokrasi yang setiap hari di gembar-gemborkan dalam pidato kenegaraan sedang terkikis oleh realitas dilapangan, ketika rakyat terutama generasi muda dan mahsiswa seperti saya tidak disertakan dalam proses pengambilan keputusan. . Seolah-olah semua ruang partisipasi kini dikunci Demokrasi yang seharusnya tumbuh dari partisipasi akyat justru terasa seperti milik segelintir orang yang berkuasa.
Disisi lain, karena kemarahan publik, demonstrasi juga melahirkan ledakan amarah yang tak terkendali. Salah satunya kasus rumah anggota DPR Ahmad Sahroni di Tanjung Priok yang digeruduk massa. Pagar rumah dirusak, barang barang seperti tv,sofa bahkan mobil ikut dijarah. Bagi banyak mahasiswa ini adalah simbol bahwa kemarahan publik sudah dititik jenuh. Ketika suara rakyat terus dipinggirkan,protes yang awalnya damai bisa berubah jadi destruktif. Ketika komunikasi publik gagal dibangun,amarah menjadi satu satu nya bahasa yang tersisa. Padahal, demokrasi tidak seharusnya  berjalan diatas ketakutan, tetapi diatas keterbukaan dan empati
Namun demokrasi bukan hanya menyisakan amarah tapi  juga korban jiwa. Saalah satu nama yang paling banyak dibicarakan adalah Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online berusia 21 tahun. Malam 28 Agustus 2025 tewas setelah terlindas kendaraan taktis Brimob di kawasan Pejonpongan Jakarta saat sedang bekerja mengantarkan pesanan.

Saya sebagai mahasiswa, sangat percaya bahwa kritik bukan ancaman, melainkan bentuk cinta terhadap negeri. Demokasi hanya akan tumbuh jika rakyat berani bicara dan pemerintah mau mendengar. Kami tidak meminta lebih hanya ruang untuk menyampaikan suara tanpa diintimidasi.