Mohon tunggu...
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Q. Moehiddin Mohon Tunggu... -

Sekadar berbagi pemikiran untuk nilai-nilai yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Money

Nasib Televisi Dan Radio Lokal Dalam Panel Pasar Bebas

18 Juni 2010   09:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:27 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

(Boks Artikel pada Bagian Keempat dari Enam Tulisan Seri Tolak ACFTA)

Oleh Ilham Q. Moehiddin

Setelah era orde baru, kran media terbuka lebar. Media tumbuh dan berkembang dengan cara masing-masing, pun bangkrut dengan cara masing-masing pula. Pertumbuhan media itu dinetralisir dengan seleksi pasar yang luar biasa. Hanya media-media tertentu, yang memiliki konsep yang jelas, modal yang kuat, dan pasar pembaca (pendengar dan pemirsa) yang solid, mampu bertahan.

***

Di tingkat nasional begitu, demikian pula di daerah-daerah. Pertumbuhannya tak kalah buncah. Media dengan mainstream, konsep, pasar pembaca masing-masing—lahir dan mencoba meramaikan persaingan. Jurnalis tiba-tiba bertambah banyak, sebagian serius, sebagian lagi “main-main”. Tumbuhnya media dan jumlah jurnalis yang serba dadakan itu ternyata membawa efek yang cukup serius pada perkembangan media-media itu sendiri; tidak sedikit masyarakat yang tadinya menyambut, berubah resisten. Para resistensir itu membawa pandangan baru dari sisi masyarakat pembaca, bahwa media-media itu kebanyakan ternyata tidak membuat mereka cerdas, penuh kebohongan dan manipulatif. Sedikit sekali media yang masih setia dengan kebenaran, dan mencerdaskan, kendati harus mati karena kekurangan modal.

Semua cerita 10 tahun silam itu, ternyata cuma disebabkan satu kebijakan yang lahir setelah orde baru; pers bebas. Media tak perlu SIUPP, terbit saja, dan tunggulah reaksi pasar. Siapa bertahan, itulah yang terus hidup. Era tanpa sensor itu, ternyata pula membuat pemerintah gagap. Seiring bertumbuhnya media, sulit sekali bagi pemerintah menahan laju media yang diklaim “porno”. Akhirnya, pemerintah harus mengeluarkan gunting cekalnya lagi. Beberapa media terancam, bahkan akhirnya ditutup karena diduga “porno”.

Tetapi kisah ini, kini, menjadi bagian dari sejarah media. Saya tidak akan berpanjang lebar soal ini, sebab selebihnya masyarakat sudah tahu. Pelaku media pun sudah mahfum dengan kondisinya ketika itu. Jadi kisah ini kita simpan kembali. Kita kembali pada cerita televisi dan radio di Indonesia saja.

Nah, pertumbuhan televisi dan radio juga tidak bisa dihindari. Di Jakarta, beberapa televisi yang sudah ada, semisal TVRI, RCTI, SCTV, TPI, Indosiar mendapat kompetitor baru. ANTV pindah dari markasnya di Sumatera ke Jakarta. Lalu, Lativi, MetroTV, dan Global TV. Menyusul TV7 dan TransTV.

Di daerah pun geliatnya sama; lahir BaliTV di Bali, BorobudurTV di Jateng, KendariTV di Kendari, ManadoTV dan GloryTV di Manado, MakassarTV di Makassar, JTV di Surabaya, LampungTV dan masih banyak lagi (kini jumlahnya 300-an televisi lokal).

Investasi bergerak. Televisi yang sebelumnya lahir, bertumbangan pula. Lativi tumbang, investasinya diselamatkan dengan jalan akuisisi penuh oleh sebuah konsorsium berisi investor media. Lativi kemudian berubah menjadi TVOne. Kelompok Kompas Gramedia, yang tadinya memiliki TV7 harus rela melepas sebagian sahamnya, menyisakan beberapa persen saham Yacob Oetama, untuk dilego pada pemilik Grup Para, Chairul Tanjung. TV7 yang sudah dibeli itu kemudian dilebur ke manajemen TransTV, yang kemudian perusahaan itu berubah menjadi Trans Corp.; TV7 diganti menjadi Trans7.

Di tengah persaingan itu, pengusaha Tommy Winata bersenyawa dengan Erick Tohir mendirikan JakTV alias Jakarta TV. Tadinya, televisi baru ini hendak mengisi kekosongan channel dan segmen menengah ke bawah di Jakarta dan sekitarnya. Belakangan televisi ini mengubah sasaran pemirsanya lebih sempit, dan mengklaim diri sebagai televisi orang Jakarta, alias televisi lokal di Jakarta. Investor Erick Tohir dalam komisariat JakTV itulah yang juga ikut membiayai berdirinya TVOne, bersama Fofo (SCTV) dan Nindya (ANTV), dalam sebuah konsorsium. Kendati investornya sama, tetapi pakem “bisnis adalah bisnis” tetap berjalan. TVOne, dimotori dedengkot dunia pertelevisian, Karni Ilyas, tetap jalan dengan konsepnya sebagai televisi berita dan sport. Kompetitor MetroTV pun hadir.

Saya menghitung, paling tidak ada tiga faktor besar yang membuat sektor pertelevisian dan radio mengalami kepayahan, yakni kebijakan pemerintah, lembaga payung media, dan hubungan antar media itu sendiri. Ketiga faktor ini saling berikat dan bersilang sengkarut, hingga membangun sebuah hambatan yang besar. Biar terarah dan jelas duduk perkaranya, mari kita kupas secara bersamaan saja.

***

DI DAERAH-DAERAH, geliatnya hampir sama, dan kini nyaris semua daerah punya televisi lokal, berkompetisi dengan televisi BUMN, TVRI daerah. Sayangnya, pertumbuhan televisi di tingkat nasional—karena saya enggan menyebutnya televisi nasional—dan pertumbuhan televisi lokal di daerah, memperlihatkan gaya kanibalisme, saling memakan dan hendak mematikan.

Lho, kok. Dari mana asumsi itu? Tidakkah Anda lihat pertumbuhan televisi lokal baik-baik saja? Belum ada gaya kanibal seperti yang Anda sebutkan,” kata seseorang.

Wah, begitu ya? “Belum ada gaya” bukan berarti gejalanya tidak nampak, bukan? Gejalanya sudah sangat nampak sejak regulasi pertevisian muncul. Salah satunya adalah tidak adanya kebijakan pasti soal iklan dan area penyebaran iklan oleh lembaga penyiaran berkapital tinggi.

Persoalan bertambah berat ketika pemerintah seperti “menyepelekan” hal ini. Tidak adanya kebijakan pemerintah yang mengatur secara seksama porsi iklan dan area penyebaran iklan. Jika soal terakhir ini tidak dikelola dengan baik, percaya saja, akan ada televisi lokal yang sakit, lalu mati. Inilah gejala paling parah dari gaya kanibalisme media yang diterapkan pemerintah.

MakassarTV contohnya. Televisi lokal itu pernah nyaris mati. Untungnya saja, gerilya pendirinya untuuk me-refresh modalnya segera berbuah dengan datangnya investor baru. Televisi itu selamat, dan dapat mengudara hingga kini.

Lalu ada soal lain yang juga menurut saya penting, yakni diberikannya ijin bagi usaha “televisi kabel” dan ijin pendirian Tower Relay. Hal-hal ini juga berpotensi mematikan televisi lokal, yang memang kebanyakan tidak padat modal.

Soal iklan tadi, pemerintah tidak pernah fair terhadap pelaku usaha “televisions relay station” atau jamak orang menyebutnya televisi kabel—istilah ini juga bergeser makna di Indonesia.

Di negara luar, televisi kabel adalah stasiun televisi mandiri yang siarannya disebarluaskan melalui kabel, selain yang sudah konvensional, melalui antena pancar. Tetapi di Indonesia, televisi kabel bergeser menjadi jenis usaha yang menyebarluaskan siaran televisi lain melalui kabel—yang menjamur di daerah-daerah. Kehadiran jenis usaha ini, sedikit banyak menguatkan dugaan bahwa bisnis ini memang sengaja disuburkan untuk melindungi kepentingan pemilik modal besar dalam bisnis pertelevisian.

Dalam konteks berbeda, hukum misalnya, jika melakukan relay (penyebarluasan) tanpa ijin dan pemanfaatan sesuatu tanpa ijin, maka usaha jenis ini seharusnya ditutup. Dalam konteks hak cipta, televisi kabel telah penyebarluaskan sebuah karya tanpa seijin pemilik karya. Padahal untuk tindakan ini, pengusaha televisi kabel seharusnya membayar penggunaan konten televisi yang digunakannya untuk kepentingan bisnisnya. Lalu, pengusaha televisi kabel juga telah memanfaatkan program milik orang lain untuk kepentingan bisnisnya. Bukankah seharusnya pelanggaran ini dikenai hukum sesuai peraturan hak cipta di Indonesia? Lalu kenapa tidak ditindak, atau malah dibiarkan?

Saya keras menduga, ini upaya persilangan kepentingan yang dibiarkan. Lihatlah sisi ketergantungan kedua pihak ini, yakni televisi yang direlay sangat membutuhkan usaha televisi kabel untuk kepentingan jangkauan siaran mereka. Sebaliknya, para pelaku usaha televisi kabel sangat membutuhkan programa televisi untuk kelanjutan bisnis mereka. Jadilah. Bukankah ini pembiaran namanya? Pelanggaran seperti ini seharusnya tidak boleh dibiarkan.

Saya kembali teringat, ketika aturan baru pertelevisian berlaku. Ketika itu, ada aturan yang mengkodefikasi penyebutan semua stasiun televisi sebagai stasiun televisi lokal. Lalu ada juga aturan yang mengarahkan bahwa televisi yang hendak menyebarluaskan siarannya ke daerah lain, sebaiknya menjalin kemitraan strategis dengan televisi lokal setempat, berupa kerjasama durasi siaran, tentunya setelah melalui pembicaraan yang setara.

Belakangan kebijakan itu disalahartikan. Beberapa pemilik televisi bermodal besar melakukan roadshow ke televisi-televisi lokal, dengan tujuan akuisisi terbatas. Harapannya, mereka nantinya akan afiliatif dengan televisi lokal, berupa penyertaan modal. Ini model klaim sepihak. Sebab penyertaan modal terbatas akan dianggap sebagai kepemilikan saham. Padahal modal dan saham dalam konteks korporasi berbeda pengertiannya. Jika Anda hanya menanamkan modal, bisa saja Anda menolak sebagai bagian dari penentu kebijakan internal. Dan maksud mereka sengaja hendak didorong ke arah penguasaan sepihak. Padahal alasannya sepele, sekadar untuk menyebarluaskan siaran, tanpa harus membangun infrastruktur mahal seperti tower relay. Niatan ini terbaca, dan banyak pemilik televisi lokal yang mengetahuinya, kemudian menolak skema itu.

Artinya, stasiun-stasiun televisi besar tidak perlu mengeluarkan modal untuk membangun tower relay, cukup meminta pemerintah menyederhanakan aturan dan membuang batasan pada bisnis televisi kabel tadi, maka klaim-klaim mereka atas coverage area dapat dijual pada pengiklan.

Ilustrasinya seperti ini; jika sebuah produk hendak beriklan melalui media televisi dengan target sasaran masyarakat di seluruh Indonesia, maka pemilik produk tak perlu repot mendatangi satu per satu televisi lokal yang ada di daerah. Cukup pasang iklannya di salah satu televisi besar di Jakarta, dan dengan segera iklannya akan disimak orang se-Indonesia, dengan bantuan televisi kabel, tentunya.

Model tower relay ini juga sangat mencemaskan, dan secara langsung menggerus pangsa penonton televisi lokal. Seolah-olah, pemerintah membiarkan sebuah pertarungan yang tidak seimbang, antara televisi berskala nasional bermodal padat, dengan televisi daerah bermodal lunak.

Sebuah televisi di Jakarta dapat memperoleh pangsa pemirsa di daerah, cukup hanya bermodalkan membangun sebuah tower relay di daerah luar Jakarta, maka televisi itu dapat menarik pengiklan dengan menjual klaim area tonton yang luas. Namun, tower relay masih lebih mahal ketimbang “memelihara pelanggaran“ dengan memanfaatkan usaha televisi kabel.

Tidakkah ini merebut perolehan pendapatan iklan televisi-televisi lokal di daerah? Bagaimana dengan bisnis televisi berbayar? Bukankah ini sebuah rencana “pembunuhan” namanya? Belanja modal dan pengeluaran operasional-perawatan lebih tinggi dari pemasukan dari iklan—maka pelan tapi pasti—sebuah bisnis televisi lokal akan mati. Lalu, apa maksud pemerintah memasukkan sektor ini sebagai industri kreatif yang akan “membela” Indonesia di pasar bebas?

Seharusnya, pemerintah membangun aturan yang jelas perihal coverage area. Jika aturan ini sudah ada, maka tinggal diimplementasikan lebih serius lagi. Bukankah lebih adil jika pemerintah menertibkan bisnis televisi kabel dan tower relay, dan memberikan coverage area di daerah kepada televisi dan radio lokal. Agar “kue iklan” bisa terbagi secara merata.

Atau pemerintah juga dapat membuat aturan soal—yang saya sebut—Relay Terbatas. Aturan Relay Terbatas ini mengharuskan televisi berskala nasional menghapus kebijakan tower relay dan televisi kabel, dengan kebijakan kerjasama siaran dengan televisi lokal. Televisi lokal akan memberikan jam siaran tertentu untuk me-relay siaran televisi nasional, tanpa sensor pada iklannya.

Nah, pendapatan televisi nasional dari iklan-iklan yang tayang pada jam-jam relay tersebut harus dibagi secara adil pada televisi lokal (sebagai ganti penggunaan jam tayang mereka untuk relay dan kompensasi dari klaim coverage area). Jika televisi nasional menolak skema itu, maka televisi lokal dapat menutup kanal mereka untuk kepentingan relay tadi.

Metode seperti ini bukankah sudah dilakukan di lingkungan radio, kendati saya tetap saja tidak jelas soal sharing profit dari iklannya. Bukankah, nilai tawar televisi lokal dan radio lokal akan lebih kuat jika aturannya seperti di atas? Cobalah.

***

Pemerintah masih tetap menganggap, bahwa dunia pertelevisian dan radio tidak akan ikut goyah pada saat penerapan pasar bebas. Televisi yang ada, dan televisi yang akan berdiri (dengan investasi asing) akan menyerap tenaga kerja. Soalnya kini; tenaga kerja yang mana? Sudah siapkah tenaga kerja yang dimaksud? Bagaimana peran pemerintah dalam menyiapkannya?

Ini sangat kontras dengan kenyataan yang tampak. Dikebanyakan televisi dan radio lokal, saat ini, sesungguhnya kekurangan tenaga kerja terampil yang sangat dibutuhkan di bidang pertelevisian dan radio. Sebuah televisi—dan tentunya juga radio—memerlukan banyak sekali tehnisi; mulai dari teknisi editing, tehnisi mixing, sound technician, electricity operators, floor director, computers technician, cable maintenance, light tehnician, jurnalis, anchor, mobile operators, satellite operators, transmision, dan masih banyak lagi. Karena melibatkan kerja-kerja pembuatan program dan pemancarluasan (baik berupa siaran langsung maupun siaran tunda).

Melihat kebutuhannya, membuat kita tahu mengapa modal pendirian sebuah stasiun televisi sangat besar. Bagi yang memiliki kapital modal besar, memenuhi faktor teknis tentulah tidak sulit. Dengan mudah mereka merekrut siapa saja dengan bayaran yang pas. Tetapi, bagi televisi yang modalnya “separuh dengkul”, pemenuhan tenaga teknis ini sulit sekali. Banyak diantara pemilik televisi lokal—nekat-nekatan—terus jalan dengan merekrut tenaga “mentah” dan kemudian dididik sambil jalan. Hanya ini satu-satunya jalan bagi televisi dan radio lokal untuk bisa tetap menekan biaya operasional, agar tetap hidup.

Rekruitmen tenaga yang “harus siap digaji murah” itu, sekilas tampak menolong para pemilik televisi lokal. Padahal jika dihitung-hitung, model rekrut seperti itu, justru lebih mahal ketimbang merekrut tehnisi siap pakai. Menjadi mahal, sebab tenaga “mentah” selain sudah digaji, mereka masih harus dilatih secara internal. Pelatihan internal itu melibatkan pelatih yang juga harus dibayar, waktu yang tidak sedikit (padahal seharusnya waktu untuk pelatihan itu dapat digunakan untuk bekerja), tempat, dan biaya akomodasi. Kecuali jika semua itu (dan orang yang terlibat) iklas tidak dibayar, alias gratis, bolehlah menekan biaya. Tetapi, apa akan selamanya seperti itu. Manajemen “tukang sate” seperti itu masuk manajemen biaya tinggi. Tidak efisien dan ekonomis, dan akan sampai pada titik dimana itu akan dibuang jauh-jauh.

Nah, disinilah titik, dimana kita dapat mempertemukan, antara keinginan pemerintah yang terus maju dalam panel pasar bebas (dengan memasukkan televisi dan radio sebagai indikator industri kreatif), dan realitas televisi dan radio lokal yang ada saat ini. Kesulitan-kesulitan dalam operasional dibanyak televisi dan radio lokal masih belum teratasi, dan disaat yang sama mereka akan berjibaku dengan para pemain baru dalam bisnis serupa yang datang dari luar Indonesia dengan modal besar, dan tentunya, kesiapan berusaha yang matang.

Sudah tentu, televisi baru yang dimodali asing itu tidak akan merekrut tenaga kerja yang tidak siap kerja. Artinya, jika operasionalitas mereka nantinya sulit mendapat tenaga siap pakai dan professional, maka mereka pasti akan melakukan tindakan penyelamatan investasi, berupa rekrutment tenaga dari luar Indonesia. Jika ini dilakukan, maka dibagian mana dari kebijakan pasar bebas yang akan mengurangi pengangguran?

Bisa saja, pasar bebas justru akan menciptakan pengangguran baru. Modal-modal asing dari sektor ini akan deras memasuki daerah-daerah untuk mendirikan televisi-televisi lokal dan radio-radio lokal baru. Jika tak ada tenaga siap, mereka tentu akan menempuh skema penyelamatan investasi seperti di atas. Dengan tenaga kerja yang lebih siap dan varian program yang lebih beragam, maka akan terbentuk atmosfer persaingan yang tidak berimbang. Marketing dan periklanan mereka akan lebih siap, sebab mereka mampu menggaet pengiklan dari luar Indonesia yang juga mendistribusikan produk mereka di seluruh kawasan.

Persaingan tidak imbang model begini akan dengan mudah mematikan media televisi dan radio lokal yang investasinya murni swasta dalam negeri. Pengangguran yang lahir akibat matinya perusahaan-perusahaan itu, juga akan kesulitan memasuki perusahaan yang dimiliki investor asing, karena ada barrier standar dalam pola rekrut mereka.

Tidak ada jalan satu-satunya bagi pemerintah dan dunia usaha di sektor ini, jika ingin terus maju ke panel pasar bebas; pemerintah harus membuka pendidikan dan pelatihan teknis di bidang-bidang ini; pemerintah harus membangun aturan yang lebih tegas soal investasi asing yang masuk ke daerah (misalnya dengan pemberlakuan pembatasan tenaga asing, atau pembatasan maksimum investasi); dan, tentunya para tenaga kerja yang sudah ada sekarang harus terus meningkatkan kemampuan personalnya.

***

DI SISI lain, lembaga-lembaga yang secara profesional menaungi media dan pekerja media, tumpang tindih dan saling berebut domain kebijakan. Semuanya mau ngatur. Selain ada Dewan Pers, juga ada KPI, lalu ada PRSSNI, dan lainnya. Tidak semua lembaga ini yang afiliatif dengan pemerintah, tetapi hubungan kerja mereka sangat dekat dengan pemerintah, yah..semacam pengawal kebijakan lah..

Tidakkah sebaiknya, lembaga-lembaga ini melebur ke dalam bagian yang besar saja, agar lebih efisien dalam mengkoordinasikan kebijakan dan lebih ekonomis dalam penggunaan dana. Misalnya, pemerintah (Depkominfo) membentuk Dewan Media Nasional, yang didalamnya ada Komisi Pers Nasional (yang mengawasi kerja-kerja jurnalistik), Komisi Penerbitan Indonesia (yang mengawasi media-media cetak—termasuk buku), ada pula Komisi Penyiaran Indonesia (yang mengawasi kerja-kerja lembaga penyiaran; televisi dan radio), lalu ada pula Cyber Media Commision (yang mengawasi domain media dan konten di dunia maya). Agar adil, semua komponen media (pers, cetak, siaran dan cyber) milik pemerintah dan swasta harus duduk bersama sebagai anggota untuk bersama-sama merumuskan kebijakan yang dapat diterapkan di domain kerja masing-masing.

Kebijakan-kebijakan yang kemudian lahir dari Dewan Media Nasional, itu harus meliputi semua aspek usaha dan kinerja, harus melindungi semua sektor yang terkait dengan kinerja media dan investasinya, merumuskan metode sanksi atas palanggaran kode etik dan mengawasi kinerja media atas program yang berimplikasi buruk buat masyarakat, serta memayungi semua kepentingan organisasi profesi; macam serikat kerja jurnalistik nasional (AJI dan PWI), organisasi internal pemilik radio swasta nasional (PRSSNI dan ORARI), organisasi televisi lokal nasional (ATVLI), organisasi pemilik dan penerbit koran (SPSI), organisasi penerbit buku (IKAPI), dan kelompok pemilik jasa layanan internet (APJII) kelompok jasa periklanan (PPPI), kelompok sineas film (APFII dan ASI), dan kelompok jasa rekayasa piranti lunak (ASPILUKI) dan video games (semacam AWALI).

Saya tidak suka menyebut skema ini sebagai “Peleburan”. Ini bukan peleburan, yang kadang dilihat sebagai upaya menyederhanakan persoalan. Tetapi, mengumpulkan semua kepentingan lembaga ini dalam sebuah payung besar akan memudahkan tiap-tiap lembaga memberi masukan, sekaligus mengkritisi kebijakan, sebelum kebijakan itu diluncurkan ke masyarakat. Saya lebih senang menyebutnya sebagai, upaya berkumpul, menyatukan kekuatan (kendati masing-masing komponen organisasi itu akan berdiri independen). Tujuannya satu, untuk memerangi isu usaha yang tidak sehat, yang akan berdampak negatif, ketika pasar bebas diberlakukan nanti.

Kata kuncinya adalah “memayungi semua kepentingan”, bukan hendak mengatur atau mengarahkan. Sebab, lebih baik, semua kepentingan yang beragam itu di payungi secara hukum, dilindungi kepentingannya (termasuk investasi para anggotanya) dari upaya regresif, yang terkadang muncul dari luar lembaga-lembaga itu. Terlebih dari kemungkinan hantaman efek samping pasar bebas.

Bukankah pemerintah menginginkan pertumbuhan usaha dan keuntungan yang merata, yang dapat dinikmati dalam persaingan usaha pasar bebas? Maka, cobalah berlaku adil. Jika sulit berlaku adil, maka saya sarankan hal yang paling gampang dilakukan, yakni Tolak Pasar Bebas. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun