Orang-orang sudah lelah dengan hidup. Lelah karena harus terus bekerja mengingat kebutuhan selalu membengkak. Semakin kerja keras, semakin tambah uang, semakin kebutuhan membengkak.
Bukan hanya tentang kerja. Tapi kelelahan mendera karena makin banyak yang dipikirkan. Itulah keadaan lingkunganku. Semua lelah dan butuh istirahat. Hingga membuat rumah senyaman mungkin agar bisa melepas penat. Jika ada waktu, maka berwisata.
Orang sudah malas saling bertemu. Malas saling berkunjung. Karena hidup sudah mulai benar-benar melelahkan. Jangankan warga biasa, Pak RT pun mulai kelelahan.
Akhirnya banyak hal diserahkan ke pihak ketiga. Misalnya kematian diurus oleh orang-orang luar lingkungan yang memang sudah dibayar.
Kabari jika ada kematian, petugas datang mengurus dan mendoakan sampai kemudian mengebumikan. Tak ada lagi tetangga yang bertakziah. Tak ada lagi.
Grup WA lingkungan sudah sepi. Sesekali ada postingan. Tapi, postingan yang hanya motivasi. Motivasi yang sudah tak singkron dengan realitas hidup. Motivasi omong kosong.
Kalau ada pertemuan RT atau arisan RT yang sebulan sekali itu, 90 persen warga milih nitip uang. Tak mau datang ke pertemuan. Yang datang hanya dua sampai empat orang.
Keamanan lingkungan diserahkan pada orang luar dan dibayar. Semua dijaga ketat. Warga tinggal bayar dan semua aman.
Situasi makin tenang karena sebagian besar rumah seperti sangkar burung. Sangat tertutup dengan tembok yang cukup tinggi.
Jika kau ingin ketenangan tiada tara, ketenangan tak mendengar ghibah tetangga, maka lingkunganku kini adalah idaman. Aman, tenang, dan tak saling merecoki. Bahkan saat momen hari raya, masing-masing kami tak bertemu. Kami pulang ke kampung halaman. Semua sepi. Saat kami kembali usai pulang kampung, kami kembali sibuk dan lelah kembali mendera.
Sampai kemudian satu per satu dari kami menginginkan untuk pergi. Termasuk aku juga pergi. Kami memutuskan untuk pindah rumah ke daerah yang baru. Tak enak juga ketika besar di lingkungan yang saling sapa, kini hidup dengan saling sendiri.
Itulah keputusan kami. Kemudian, Karmo, satu-satunya tetangga kami yang tak pindah. Dia masih setia di lingkungan yang nyaman itu. Kami sudah pindah dan hanya Karmo yang belum pindah.
Aku pun yakin Karmo tak tahu jika tetangganya sudah pada pindah dan berganti penghuni. Sebab, Karmo memang orang yang benar-benar butuh ketenangan. Dia tak mau direcoki tetangga.Â
Lalu, aparat penegak hukum datang ke rumah Karmo. Bersama seseorang yang mengaku memiliki tanah dan bangunan yang didiami Karmo, mereka meminta Karmo mengosongkan rumah itu.
"Ini rumah saya pak. Ada putusan pengadilan," kata seorang yang mengaku memiliki rumah itu.
"Kok bisa?" kata Karmo.
"Saya sudah sangat lama ada di sini. Kisaran 10 tahun," kata Karmo.
"Ya pak tapi ini tanah kami. Ini buktinya," kata orang itu sembari menunjukkan secarik kertas.
Orang dan aparat penegak hukum itu pergi dan mengingatkan Karmo untuk segera meninggalkan rumah itu. Karmo merasa ketenangan yang sudah dia dapatkan runtuh sebegitu rupa.
Maka dia memilih bersilaturahmi ke rumah sebelah. Dia pencet bel pagar pintu.
"Pak Dirman ada?" kata Karmo pada seseorang yang sepertinya adalah asisten rumah tangga.
"Pak Dirman siapa? Ini rumah Pak Anton," kata asisten rumah tangga itu.
Karmo mulai heran. "Apakah aku mimpi?" batinnya.
Dia kemudian ke tetangganya yang lain. Itu adalah kali pertama bertamu setelah tujuh tahun tak pernah tegur sapa secara nyata. Dan ternyata semua tetangganya sudah berganti penghuni.
Lalu Karmo telepon aku. "Pak, ini Karmo. Bapak di rumah?" katanya.
"Ya aku di rumah," jawabku singkat.
"Bisa aku ke rumah bapak," kata Karmo.
"Silakan saja pak. Tapi aku sudah pindah di luar kota," jawabku.
Karmo kelimpungan. Melalui telepon dia mulai tak bisa apa-apa lagi. Seperti hendak diterjang tsunami.
"Mengapa aku tak tahu jika bapak semua sudah pindah?" katanya padaku melalui telepon.
"Kami tak saling mengabari. Hanya sebuah kebetulan jika akhirnya antarkami tahu bahwa kami tak lagi di lingkungan. Semua takut mengganggu ketenangan masing-masing. Jadi kami pilih tak saling mengabari, termasuk tak mengabari Pak Karmo. WA grup juga sudah tak aktif. Semua sudah pergi dari lingkungan pak, sudah pindah. Maaf sekali pak. Aku tak bisa lama-lama telepon. Aku harus kerja," kataku.
Karmo bingung. Dia tak tahu harus bagaimana menyelesaikan permasalahannya. Ancaman kesusahan bergelayut di kepalanya. Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI