Di Ujung Pulpen, Dalam Hati yang Tak Pernah Lelah: Upaya Guru Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Sebuah ilustrasi, bisa kenyataan di lapangan, bisa juga imajinasi kita tentang keadaan para guru. Di sebuah sekolah dasar terpencil di pedalaman Papua, seorang guru bangun pukul 04.30 pagi. Ia berjalan kaki sejauh 7 kilometer menyusuri jalan berlumpur, menyeberangi sungai kecil dengan jembatan bambu, hanya untuk tiba di kelas yang atapnya bocor dan papan tulisnya sudah retak. Ia tidak mengajar di gedung bertingkat dengan pendingin ruangan, bukan. Ia mengajar di bawah tenda, di bawah terik matahari atau hujan deras, dengan kapur putih yang hampir habis dan buku tulis yang dibagikan seadanya.
Gajinya? Rp1,2 juta per bulan.
Statusnya? Guru honorer.
Masa depannya? Tidak ada jaminan pensiun.
Namun, setiap pagi, ia tersenyum. Karena baginya, mengajar bukan sekadar pekerjaan, itu panggilan hati.
Guru-guru seperti ini tersebar di seluruh Nusantara. Di pegunungan Aceh, di pulau-pulau kecil Maluku, di perbatasan Kalimantan, di kampung-kampung yang bahkan sinyal internet pun enggan datang. Mereka adalah tentara tanpa seragam, pejuang tanpa medali, pahlawan yang namanya tak pernah terukir di monumen.
Mereka tidak mengajar karena diiming-imingi gaji besar. Tidak karena ingin diwawancarai media. Tidak pula karena mengejar jabatan atau pangkat. Mereka mengajar karena mereka percaya: pendidikan adalah jalan satu-satunya keluar dari kemiskinan, dari ketertinggalan, dari kebodohan.
Mereka percaya bahwa anak dari petani, nelayan, atau buruh harian pun berhak menjadi dokter, insinyur, atau presiden. Dan mereka, dengan tangan terbuka, menjadi jembatan antara mimpi dan kenyataan.
Ada guru di daerah pedalaman yang setiap minggu menyusun modul pembelajaran sendiri karena buku pelajaran tidak sampai ke sekolahnya. Ia fotokopi materi dengan uang pribadi atau bahkan mencatat tangan, lalu membagikannya kepada murid-muridnya yang datang dengan perut kosong.
Ada guru di Sumatera yang setiap akhir pekan mengajar anak-anak putus sekolah di pos ronda, tanpa bayaran, tanpa pengakuan. Ia hanya ingin mereka bisa membaca, menulis, dan punya harapan.
Ada pula guru di Jawa yang setelah pulang mengajar, masih membuka "les gratis" di teras rumahnya, karena tahu banyak murid tidak mampu bayar bimbingan belajar.