Kang Tarsim lalu mencabut HP-nya dan menelepon istrinya. Sepertinya istrinya memang sudah disetting untuk dekat dengan bapak.
"Sih, mana bapak," kata Kang Tarsim saat bertelepon. Tak lama kemudian, Kang Tarsim berbicara dengan bapak.
"Pak, si Man sehat. Niki nek badhe ngendikan (Pak si Man sehat. Ini kalau mau bicara)," kata Kang Tarsim.
HP kemudian diberikan ke aku. Bapak seperti terbata-bata berbicara. Dia belakangan ngimpi adiknya, yang tak lain adalah almarhum bapakku. Bapak sesenggukan, takut ada apa-apa denganku.
Maklum saja, adiknya alias bapakku, meninggal tak wajar dengan banyak sayatan di tubuh. Bapak selalu bermimpi tentang adiknya. Mungkin itu yang membuat bapak selalu ingat aku.
"Kowe ki mbok ngabari. Aku kangen Man (kamu itu tolong beri kabar, aku kangen)," kata bapak sesenggukan. Dia sangat sayang padaku, melebihi anaknya sendiri.
Aku pun merasa terpukul. Aku meneteskan air mata. Aku merasa salah sangat besar. Aku egois memikirkan ketenanganku sendiri. Sementara nun jauh di sana, rasa kangen seseorang padaku menggelayut tak keruan.
Aku terus meneteskan air mata sembari menutup telepon dari bapak. Kang Tarsim seperti terlihat lega. Seperti biasa, dia kemudian menamparku sebagai rasa sayang. Kang Tarsim pergi pulang.
Aku akan ke rumah bapak besok. Aku juga akan kembali memakai HP. Sembari menerawang, apa adq cinta yang akan menggelayutiku seindah cinta bapak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI