Selamat hari lahir Nahdlatul Ulama (NU) ke 95 di hari ini, 31 Januari 2021. Itu jika penghitungannya memakai masehi. Jika penghitungan memakai hijriah tentu berbeda. Â
NU saya kenal sebagai ruang pembelajaran. Setidaknya itu yang saya alami sejak kecil. Pembelajaran agama yang terkait dengan baca tulis Alquran, hukum agama, dan perilaku antarsesama. Selain itu tentu masih banyak lagi.
Dulu masa kecil, kami belajar mengaji pada kiai di kampung. Untuk level a, ba, ta diajar oleh murid yang senior. Jika sudah baca Alquran, maka diajar oleh pak kiai. Ritual mengaji dilakukan setiap Maghrib, kecuali malam Jumat libur.
Banyak yang mengaji ke pak kiai dan itu gratis. Tak ada uang sepeser pun yang kami keluarkan pada guru kami. Hal itu berlangsung bertahun-tahun sampai saya dewasa.
Tapi jika pun pembelajaran itu dirupiahkan, saya pikir tak akan pernah bisa. Duit sebanyak apapun tak akan pernah bisa mengganti banyaknya ilmu yang kami dapatkan.
Beranjak umur saya, mengaji pun saya lakukan. Tentu saat ini sudah tidak karena faktor Covid-19. Mengaji di masa tua adalah mengkaji kitab-kitab klasik. Itu juga tak berbayar. Hanya infak seikhlasnya. Jika pun tak memberi infak juga tak apa. Setelah mengaji, guru kami memberi sarapan. Bayangkan, sudah diberi ilmu, diberi sarapan sepiring.
Itu cerita kiai NU yang ada di sekitarku. Saya tak akan mengatakan bahwa jika ada yang menarik biaya ketika memberi ilmu adalah buruk. Saya tidak sedang membandingkan itu. Menarik biaya atau tidak, itu ada dasarnya dan sama-sama kuat.
Jadi ilmu agama yang masuk ke diri saya, itu jasa besar kiai NU. Guru-guru yang memberi pelajaran ke saya dan teman-teman, sanadnya nyambung sampai KH Hasyim Asyari.
Bayangkan, sudah berapa banyak orang yang mendapatkan ilmu dari kiai NU? Sudah banyak. Maka tak aneh jika rasa hormat pada guru itu tinggi.
Beda
Di lingkungan NU yang saya ketahui, berbeda itu hal biasa. Dulu sekitar 30-an tahun lalu, perbedaan hari Idulfitri di lingkungan NU pernah terjadi. Bukan antara NU dengan di luar NU tapi di internal kiai NU.