***
Satu ketika desa kami kedatangan warga baru dari kota. Pengantin baru, tampan dan cantik. Namanya Joni dan Sinta. Joni ini ketampanannya mirip Ki Warno muda. Sinta juga cantik dan seksi.
Alamaak. Kalau sore mereka jalan-jalan di kampung, ramah sekali. Suka menyapa orang. Kalau jalan tangan mereka berpegangan. Mesra pokoknya. Di tepi sawah dengan merah redup matahari, mereka berpandangan. Joni sering mengecup kening Sinta di kala sore itu.
Kami tentu mulai gusar. Sebab kami takut Ki Warno tersinggung dengan kemesraan Joni dan Sinta. Tapi kami juga tak bisa melarang karena mereka suami istri yang sah.
Kau tahu, dalam beberapa sore, aku suka curi pandang. Aku ke semak-semak tak jauh dari tepi sawah. Aku pura-pura mau bakar sampah. Sejatinya aku hanya ingin melihat teknik mencium kening si Joni itu.
Aku sering begitu. Curi kesempatan. Satu kali aku sudah mengendap, tapi aku terpeleset ke kubangan air. Suaranya terdengar oleh Joni dan Sinta. Si Joni kaget. Aku malu-malu sembari cari banyak alasan ketika Joni basa basi menyapa.
Nah, di saat itu pula aku melihat Ki Warno berlari. Mungkin Ki Warno juga baru saja menikmati mesranya Joni dan Sinta.
***
Sejak Joni dan Sinta datang, memang banyak yang berubah. Ki Warno juga mulai klimis, suka bersolek. Ki Warno pernah bilang padaku jika Sinta dan Joni telah mengubah cara pandangnya tentang wanita dan hubungan.
"Sur aku mau menikah dengan Murni. Gadis yang masih Murni," kata Ki Warno padaku. Aku tentu terbelalak. Kuketahui, Murni masih 19 tahun. Tapi, aku bersyukur dan merasa bersalah. Coba kalau dari dulu kami bermesraan dengan istri, mungkin Ki Warno akan cepat kebelet nikah.
Pernikahan itu terjadi dengan sakral dan sederhana. Selama sebulan, Ki Warno sering mampir ke rumahku. Dia menceritakan bagaimana istrinya yang murni itu patuh.
Ki Warno kemudian berulang-ulang menceritakan bahwa wanita adalah surga dunia. Ki Warno tiap hari kebelet. Aku sendiri senang melihatnya.
Dua bulan setelah pernikahan, rasa gembira Ki Warno tak berhenti. Dia masih terus cerita tentang Murni itu. Kemudian dia berujar padaku ketika akan pulang.
"Sur, nikah itu enak banget ya. Aku jadi pengin nambah. Mau nambah istri, mau nikah lagi," kata Ki Warno yang membuatku menepuk jidat. (*)