Tapi, potret seperti itu tak berhenti aku ketahui. Ada yang sudah tak bisa jalan, tapi bisa bicara. Selalu ingin ke sana ke mari, melihat dunia. Sementara, jarang ada yang membantu memapah tubuhnya keluar dari ruangan. Ya maklum saja karena semua sibuk membanting tulang untuk mencari nafkah.
Orang-orang tua yang sakit dan kesepian. Maka, ada semacam kebiasaan yang aku dengar. Bahwa kalau bisa salah satu anak, hidup satu atap dengan orangtuanya. Jadi, tak semua merantau atau punya rumah sendiri. Salah satunya, agar ada yang mengurus ketika tua mendera.
Masa-masa berat yang aku lihat itu memang bukan cerita indah. Mungkin juga bisa dijadikan pelajaran bahwa ada kalanya kita perkasa, ada kalanya menua. Dulu punya jabatan dan kuasa, kala tua mungkin saja tak bisa apa-apa.
Dulu dikenal seantero jagat, kala tua dilupakan seperti angin lalu. Lebih sedihnya, jika semua masa berat itu dialami sendirian, benar benar sendirian.
Tapi ada juga yang sudah sangat berumur dan relatif sehat. Pada satu waktu, aku mengetahui jika salah satu famili keluargaku memiliki usia sampai 97 tahun. Karena sudah sangat berumur, aktivitasnya terbatas.
Hanya saja, sekalipun relatif sehat, dia tetap merasa kesepian. Pada sebuah kesempatan dia merasa tak memiliki teman karena teman-temannya sudah berpulang. Berbicara dengan orang yang lebih muda dengan zaman yang berbeda menurutnya memang agak kesulitan.
Maka, Â hari-hari yang ramai, menurutnya tetap saja sepi. Tak ada yang bisa diajak berbagi dengan cocok karena zaman sudah berbeda. (*)