Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sayang, Kita Bertemu Pukul 1 Siang

25 Mei 2020   09:29 Diperbarui: 25 Mei 2020   09:50 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto pexels/Elti Meshau

Rana, begitu aku biasa disapa. Aku sudah 25 tahun dan ibu memintaku untuk cepat naik pelaminan. Ibu pun sangat setuju jika Soni menikahiku. Oiya, aku sudah enam bulan belakangan ini menjalin hubungan dengan Soni. Jika dikatakan serius ya serius. Aku sudah pernah diajak ke rumahnya, diperkenalkan dengan orangtuanya. Dia juga sering ke rumahku, paling jarang sepekan sekali.

Soni sering main ke rumahku pukul 17.00 atau 30 menit setelah aku pulang kerja. Soni paling hanya sampai Maghrib dan sebelum Isya dia sudah pulang. Soni cukup tampan dan cenderung mapan karena dia melanjutkan bisnis restoran ayahnya.

Soni juga tak pernah memperlakukanku secara buruk. Dia sangat menghormati wanita. Orang-orang di sini, menyebut Soni lelaki idaman. Mapan, baik, lumayan tampan. Aku tak perlu cerita apa keburukannya. Toh jika dia jodohku, maka aku akan menerimanya.

Sudah tiga kali Soni mengungkapkan keinginannya untuk menikah denganku. Tapi aku selalu bilang ke Soni bahwa beri aku waktu untuk menimangnya. Aku bilang padanya, jika dia tak sabar menungguku, maka memang dia bukan jodohku.

Dia juga sudah berani bilang ke ibu bahwa dirinya sangat serius denganku dan ingin menikah denganku. Ibu pun selalu memintaku untuk segera menerima pinangan Soni. Ibu ingin segera menimang cucu. Buat teman main dan agar rumah tak sepi, mengingat bapak sudah berpulang dua tahun lalu.

Aku hanya ingin mengatakan bahwa jika Soni jodohku, dia akan menikah denganku. Kapan aku menikah dengannya? Ya kalau memang jodohku dan sudah ditakdirkan, maka pekan depan pun bisa. Aku hanya ingin terus meyakinkan diriku sendiri. Tiap malam aku bangun meminta pada Yang Maha Kuasa diterangkanlah siapa jodohku. Di malam-malam belakangan ini, aku pun mulai ditemukan jodohku dalam mimpi. Setidaknya itulah keyakinanku.

Tapi dalam mimpi-mimpiku, aku baru melihatnya dari belakang. Posturnya memang mirip Soni. Dari belakang mirip Soni. Aku kembali terus berdoa agar aku bisa melihat jodohku dari depan. Aku ingin memastikan siapakah jodohku. Empat hari beruntun, aku masih bermimpi melihat jodohku dari belakang. Di empat hari terakhir ini juga, Soni dan ibu seperti berkolaborasi. Keduanya memintaku untuk segera menikah.

Sementara, dalam empat hari belakangan, aku makin kelimpungan karena mimpiku belum jelas. Di hari kelima, aku berdoa sepanjang hari. Aku berdoa selama mungkin dan sedalam mungkin. Aku meminta Tuhan menghadapkan wajah jodohku itu.

Sebelum terlelap, aku berdoa, berdoa, dan berdoa. Aku pun bermimpi melihat lelaki itu. Dia sudah ada satu meter di depanku tapi memunggungiku. Jantungku berdegup kencang. Aku berharap dia menolehku.

Ya Tuhan, tolehkanlah lelakiku ini. Aku memang serasa antara mimpi dan tak mimpi. Dia pun membalikkan badan. Entah mengapa seluruh tubuhku sangat tenang melihatnya. Kulitnya sawo matang, berjambang tipis, berkumis tipis, dengan hidung mancung. Perawakannya tegap. Dia bukan Soni.

Dalam mimpi itu, mataku berkaca-kaca. Aku sangat lega, sangat lega. Dia mendekat, jantungku berdegup tak beraturan. Ya Tuhan... wajahnya hanya tinggal beberapa sentimeter menyentuh wajahku yang mendongak.

Jantungku makin tak keruan. Ya Tuhan.... Dia hanya bilang, "Sayang, besok pukul satu siang, seizin Tuhan, kita akan bertemu," katanya. Aku agak berharap dia memelukku, aku sudah gila. Aku gila... tapi dia tak melakukannya. Dia tak memelukku. Sial!

Aku terbangun. Aku kembali berdoa berulang-ulang sampai pagi. Aku mandi, menyiapkan pakaian terbaikku. Apalagi ini Sabtu, aku libur kerja. Aku sudah siap di teras rumah sejak pukul 09.00. Ibu bilang apakah Soni akan ke rumah. Aku jawab "ya" karena Soni memang akan ke rumah pukul 10.00. Namun, sampai pukul 10.00 Soni tak kunjung datang.

Bahkan sampai pukul 12.00, Soni tak terlihat batang hidungnya. Aku berpikir jangan-jangan di jam 13.00 Soni sampai ke rumah dan kita berhadapan. Kalau memang seperti itu, memang Soni jodohku. Pukul 12.50 Soni datang. Dia menghadap ke wajahku pukul 12.55. Aku tak yakin jika Soni adalah jodohku. Perasaanku tak keruan karena di pukul 12.57, Soni izin ke belakang untuk buang air kecil.

Jam 13.00 aku tak berhadapan dengan siapapun. "Lari Rana, ayo lari...." begitu bisik hatiku. Aku lari keluar rumah, aku lari kencang sekali. Tapi lariku terhenti karena di ujung gang ada kerumunan. Aku mendekati..... dan lelaki itu, lelakiku berlumuran darah tak lagi bernyawa. Aku menjerit sekencang-kencangnya. Menjerit sekencang-kencangnya. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun