Mohon tunggu...
Ilham Nasrullah
Ilham Nasrullah Mohon Tunggu... Penulis - Muhammad Ilham Nasrullah

vousmevoyez

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengapa Sebagian Muslim Tidak Memerbolehkan Filsafat? Tinjauan Epistemologi dalam Islam

15 November 2018   13:17 Diperbarui: 15 November 2018   17:04 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bismillah walhamdulillah... 

Allahumma Sholli "alaa Sayyidina Muhammadin Wa 'Alaa Alihi wa Shohbihi wa Ummatihi Akhir zaman.

"Pernah kiita mendengar bahwa jangan lah kita belajar filsafat sebelum faham Al-Qur'an dan Hadist?"

Tak ayal di sebahagian pondok pesantren ada beberapa kejadian seperti diatas. Karena mereka beranggapan bahwa kebenaran sejati (haq) hanyalah milik Allah azza wa jalla---yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan As-sunnah yang disampaikan melalui Nabi Suci Muhammad Sallallahu 'Alaihi Wasallam--- dan harus diyakini kebenarannya bagi setiap orang yang beriman. Begitulah faham mereka yang tidak begitu setuju terhadap filsafat. Karena dalam Epistemologi (filsafat pengetahuan/teori pengetahuan) kebenaran bisa kita cari.

Sebelum mendalami terlalu jauh tentang filsafat, mari kita koherensikan dengan islam. Pernah saya mendengar ceramah Habib Segaf bin Hasan Baharun, M.HI (pengasuh PP. Dalwa Bangil) dalam kajian kitab kuning beliau berdawuh "yang membedakan manusia dengan hewan adalah manusia diberi Allah SWT akal yang dengan akal tersebut manusia dapat berpikir". 

Dengan akal, manusia berpotensi melakukan yang namanya proses filsafat di setiap detik kehidupannya. Manusia dapat menentukan kadar baik dan buruk sehingga terciptalah aturan-aturan dan norma-norma dalam masyarakat, manusia dapat juga menentukan kadar indah tidaknya suatu yang mereka lihat. Bukankah keteraturan dalam masyarakat adalah bagian dalam agama? (A=tidak, gama=kacau). Maka hal ini, filsafat mempunyai hubungan dengan agama.

Islam, yang merupakan agama Rahmatan Lil 'Alamin mewajibkan bagi setiap pemeluknya mencintai kebenaran itu sendiri, yang bersumber dari Allah Azza Wa Jalla. Dalam surah Al-'alaq ayat 1-5 misalnya. Ayat iqro' yang diturunkan kepada Nabi Suci Muhammad Sallallahu 'alaihi wasallam (melalui Malaikat Jibril), ditalqin (dibacakan, dituntun pembacaannya) 3x oleh Malaikat Jibril. Pada pembacaan pertama dari Malaikat Jibril Nabi Muhammad diperintahkan membaca (iqro') bacalah! 

Kemudian Nabi menjawab "maa Aqro'" kemudian malaikat memerintahkan lagi iqro' untuk jawaban kedua Nabi menjawab "saya tidak dapat membaca" kemudian Malaikat Jibril membacakan ayat selanjutnya "iqro' bismirobbikalladzii kholaq...". Kata  khalaqa dalam M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Kairo: Lentera Hati, 2009), H. 392 memiliki sekian banyak arti antara lain menciptakan (dari tiada), menciptakan (tanpa satu contoh terlebih dahulu), mengukur, memperhalus, mengatur, membuat, dan sebagainya. 

Objek khalaqa pada ayat ini tidak disebutkan sehingga objeknya pun sebagaimana iqra' bersifat umum dengan demikian, Allah adalah pencipta semua makhluk. Kemudian disebutkan dalam ayat 4 dan 5 bahwa Allah lah yang mengajari manusia dengan pena, Dia mengajarkan msnusia apa yang tidak diketahuinya.

Hal tersebut diatas betapapun kita mengalami proses berpikir/berfilsafat, maka Allah lah yang telah menjadikan hal tersebut ada. Proses berpikir kita telah terjadi sejak dalam usia kandungan. Betapapun manusia, pikiran normal mereka akan selalu terbesit tentang sesuatu.

Pada era millenial ini dimana begitu "rapid of development knowledge and technology" sangat cepatnya perkembangan pengetahuan dan teknologi, saya harus menyampaikan hal penting mengenai hal tersebut. Selalu menjadi perhatian saya mengenai dawuh KH. M. Hasyim Asy'ari bahwa "Berhati-hatilah dan jangan dengan gampang menyebarkan sebuah tulisan walaupun berisi ilmu, namun tidak jelas asal-usulnya. Mintalah penjelasan pada ahlinya,". Karena pada dasarnya, seseorang tidak mampu memahami sebuah ilmu tanpa dorongan dari seorang guru ahli, dimana keilmuan guru tersebut dapat dipertanggung jawabkan.

Kemudian sebelum membenci apa itu filsafat, epistemologi khususnya. Menurut Mudlor Ahmad (1994:94), dalam Menuju Pemikiran Filsalat karya Muhammad In'am Esha, bobot kebenaran berjenjang dalam tida macam, yaitu:

Kebenaran yang mutlak atau absolut yaitu kebenaran yang sebenar-benarnya, kebenaran sejati, kebenaran sempurna, atau kenbenaran hakiki.

Kebenaran nisbi  atau relatif, yaitu kebenaran yang setingkat dengan kebenaran mutlak, kebenaran yang tidak utuh.

Kebenaran dasar, yaitu kebenaran yang paling bawah. Kebenaran yang tidak dapat dipersalahkan tetapi masih membutuhkan penegasan lebih lanjut.

Dari hal tersebut, dapat kita pahami bahwa kadar pengetahuan yang akan kita raih dalam berfilsafat adalah tingkatan kebenaran dasar dan nisbi. Belum sepenuhnya benar. kebenaran yang masih bisa terpikir (rasional) menurut kadar manusia. Dan kita yakini betul bahwa kebenaran yang haq hanyalah milik Allah Jalla Jalaluh semata.

Para cendekiawan muslim pada zaman dahulu telah banyak memperselisihkan tentang filsafat. Imam al -- Ghazali bahkan sampai mengarang buku tentang kerancuan filsafat. Kemudian hal tersebut ditanggapi dengan Ibn Rusdy bahwa yang dipermasalahkan oleh al -- Ghazali adalah ketika berkaitan dengan agama yang dianutnya. 

Pada kata penciptaan misalnya, dipahami bahwa berbeda ciptaan Allah (kholiq) dengan manusia (makhluk). Allah menciptakan segala sesuatu dari tiada menjadi ada, sedangkan manusia menciptakan dari ada menjadi ada. Tetapi dalam metode pengambilan keputusan, dimana para ilmuwan harus menguasai metode ini untuk mengembangkan pengetahun yang dimilikinya, al-Ghazali secara tidak sadar menggunakan hal tersebut.

Setelah terlepas dalam kebencian berfilsafat, hasrat berfilsafat manusia dari Herakleitos dari Efesus, filsuf Yunani Kuno pra-Sokratik masih hidup dikalangan para filsuf saat ini. Ia terkenal dengan ucapannya panta rhei kai uden menei yang berarti, "semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap. Bahkan menurutnya, kita tidak dapat berdiri diatas aliran sungai yang tetap. Dapat juga dijadikan pegangan bagi seorang muslim. Ahli hikmah pun berkata sedemikian rupa, "semua kecuali Allah berubah-ubah". Bahwasanya, sikap positif seorang muslim haruslah tumbuh subur dalam dirinya, dalam ruh, jiwa, dan badan. Tidak ada muslim yang suka berkabung dalam hidupnya, dikatakan dalam al-Qur'an bahwa la takhofu wa laa tahzanuu (janganlah engkau takut dan janganlah engkau bersedih hati). Semua ada masanya. Kita tidak selalu ditimpa kesedihan dan kesusahan dalam hidup ini, pasti ada saat dimana hidup kita akan dipenuhi rasa bahagia serta syukur kepada Allah.

Kemudian, apalagi alasan sebagian orang tidak memperbolehkan filsafat? Beranggapan bahwa orang berfilsafat adalah orang-orang yang kacau? Atau mereka yang senang menyendiri dalam hidupnya? Memandangi hanya tetesan rintikan hujan yang jatuh lalu kemudian menjadikannya takjub akan hal tersebut? adalah mereka yang berfilsafat untuk memudahkan disetiap pemahaman cara pandangnya, setiap kehidupannya. Mereka akan sesederhana mungkin mencari jalan keluar dari setiap permasalahan.

            Was I good as a human?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun