Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Embung Pandanmulyo Malang, Wisata Bayar Seikhlasnya, Beragam Fasilitas di Dalamnya

4 Juni 2021   19:48 Diperbarui: 5 Juni 2021   23:01 2277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Embung Pandanmulyo Malang. - Dokumen Pribadi

Sebenarnya, saya termasuk orang yang masih enggan kumpul-kumpul dengan keluarga besar saat libur lebaran kemarin.

Alasannya, saat ini masih masa pandemi covid-19. Meski begitu, keluarga besar saya tetap mengadakan acara kumpul bersama dan liburan bersama. Saya pun mau tak mau akhirnya harus ikut dan hanya bisa berdoa semoga tidak terjadi kluster penularan covid-19 keluarga.

Jika sebelum pandemi keluarga kami menggunakan bus keluar kota, pada liburan kali ini kami hanya berjalan di sekitar Kota Malang saja. Dengan menggunakan motor, kami menuju salah satu tempat wisata baru di kawasan Tajinan, Kabupaten Malang.

Wisata tersebut bernama Embung Stunting Pandanmulyo atau d' Embung. Dari namanya, pasti ada embung alias danau buatan penampung air hujan yang digunakan sebagai sarana irigasi. Saya baru tahu jika ada tempat wisata ini ya saat akan berangkat.

Saya kira, letak embung ini cukup dengan pusat Kota Malang. Ternyata tidak. Kami harus menempuh perjalanan setengah jam lebih agar sampai di tempat tujuan. Di sepanjang perjalanan, kami harus melewati jalanan makadam dan tanjakan curam karena memang berada di pegunungan timur Malang. Kalau sendiri sih tidak apa-apa. Masalahnya, saya sedang membonceng bude saya yang akan pensiun. Jadi, saya harus lebih berhati-hati tetapi juga menjaga ritme kecepatan saya agar tidak tertinggal dengan rombongan.

Sesampainya di lokasi, rupanya pengunjung sudah banyak. Saya mulai was-was karena naga-naganya tidak ada pembatasan jumlah pengunjung. Namun, ketika saya melihat beberapa mobil patroli dari kepolisian dan satgas covid-19, saya sedikit lega. Paling tidak, tempat ini tak akan membludak seperti tempat wisata hits yang dihantam oleh para wisatawan.


Keterkejutan saya bertambah ketika para pengunjung dikenakan tiket seikhlasnya untuk masuk tempat ini. Beberapa petugas membawa kardus yang digunakan sebagai wadah uang dari para pengunjung. Rombongan saya memberikan uang sebesar 5.000 rupiah tiap orang sebagai tiket masuk ala kadarnya itu. Namun, beberapa pengunjung saya lihat hanya membayar 5.000 hingga 10.000 rupiah padahal jumlah anggota rombongan mereka lebih dari 10 orang.

Saya ternganga melihat fenomena ini lantaran banyak orang yang tidak paham dan peduli terhadap tempat wisata yang mereka datangi. Wisata ini juga dikelola baik dan sudah seharusnya mendapatkan apresiasi berupa tiket masuk yang layak. Yah paling tidak 5.000 rupiah lah untuk tiap pengunjung. Bagi saya, mematok tiket seikhlasnya akan membuat wisatawan yang datang akan kurang menghargai pengelolaan tempat wisata yang masih berbasis pedesaan ini.

Untunglah, protokol kesehatan masih diberlakukan sebelum memasuki area wisata yakni pengecekan suhu. Kami bisa masuk selepas pengecekan tersebut dan harus menaiki sebuah bukit untuk bisa sampai di lokasi yang kami tuju. Walau harus mendaki bukit, tanaman perdu yang ditanam di sepanjang perjalanan sedikit mengurangi rasa gerah kami. Tanaman ini ditanam oleh warga Pandanmulyo secara bergotong royong guna mewujudkan penghijauan di kawasan ini.

Kami tiba di tujuan yakni kolam renang anak-anak yang cukup ramai selepas mendaki bukit. Ada tiga buah kolam renang yang memiliki kedalaman cukup dangkal. Beberapa sepupu dan keponakan -- terutama yang balita -- sudah tak sabar untuk mencebur kolam.

Sungguh, lama tidak berwisata membuat banyak orang -- terutama dari keluarga saya -- kalap. Saya tidak tahu energi apa yang bisa menggambarkan euforia itu yang jelas, dengan sampai di lokasi wisata, maka apa pun bisa dilakukan. Termasuk melanggar protokol kesehatan sekal pun.

Kolam renang. - Dokumen Pribadi
Kolam renang. - Dokumen Pribadi
Sempat terjadi perdebatan di manakah kami -- para orang tua bisa -  menunggu anak-anak yang akan berenang. Lantaran, semua tempat duduk di dekat kolam renang sudah penuh. 

Walau ada beberapa spot yang kosong, tetapi bagi saya cukup mengkhawatirkan karena sudah disesaki oleh pengunjung lain. Untungnya, beberapa sepupu berinisiatif mencari tempat duduk di sekitar embung yang berada di bagian belakang. 

Di sana, tak banyak pengunjung yang menduduki tempat tersebut karena cukup jauh dari kolam renang. Akhirnya, saya pun bisa lega karena tak harus berdesakan dengan pengunjung lain yang memungkinkan saya bisa tertular covid-19.

Embung berisi ikan koki yang cukup banyak. - Dokumen pribadi
Embung berisi ikan koki yang cukup banyak. - Dokumen pribadi
Tempat duduk tersebut berupa rumah bambu yang didesain unik. Sembari menunggu, kami bisa menyewa perahu sepeda dengan harga 20.000 untuk tiap 30 menit. Sebenarnya, lintasan sepeda air ini tidak terlalu luas dan panjang. Akan tetapi, pemandangan yang mengelilingi lintasannya cukup cantik. Saya merasa seperti sedang di pasar apung di Thailand.

Embung yang jadi spot foto. - dokumen pribadi
Embung yang jadi spot foto. - dokumen pribadi
Ada juga jembatan yang melintasi dua sisi embung yang digunakan sebagai tempat berfoto. Kalau sedang ingin mencari spot foto yang lebih keren lagi, kita bisa naik ke sebuah rumah panggung yang berada di sisi timur dari embung ini. 

Di sana, kita bisa melihat suasana embung yang dipagari perkebunan dan peternakan milik warga desa. Dari informasi yang saya dapat, embung dan kompleks kolam renang ini dibangun di atas tanah kas desa. Pembangunannya juga mendapat bantuan dari Pemkab Malang.

Sayang, saya tidak membawa kamera mirrorless hadiah dari Kompasiana. Berbekal kamera ponsel yang apa adanya, beberapa jepretan pun bisa sedikit mewakili apa yang saya rekam di tempat wisata ini. Kalau boleh jujur, tidak ada salahnya pengelola bisa mematok tarif tiket proporsional demi kelanjutan pembangunan wisata yang belum jadi seutuhnya ini.

Embung dikelilingi perkebunan penduduk. - Dokumen pribadi
Embung dikelilingi perkebunan penduduk. - Dokumen pribadi
Sebelum pulang, perut saya pun keroncongan. Saya bergegas ke satu-satunya  warung yang buka di wisata ini. Tentu, menu mie dalam cup menjadi solusi penunda lapar. Dan lagi-lagi saya tercengang ketika satu cup mie matang dihargai hanya 6.000 rupiah saja. itu belum termasuk es kemasan dalam cup yang hanya 2.000 rupiah saja. Entah apakah pengelola warung ini mendapatkan untung atau tidak, yang jelas ia amat kewalahan lantaran pengunjung yang amat banyak.

Wahana mainan anak yang belum jadi. - Dokumen pribadi
Wahana mainan anak yang belum jadi. - Dokumen pribadi
Kami mengakhiri wisata singkat menjelang matahari terbenam. Meski masih ada kekurangan, saya cukup mengapresiasi pembangunan tempat wisata berbasis desa ini. Paling tidak, dengan adanya tempat wisata baru ini, selain meningkatkan perekonomian warga juga bisa memecah konsentrasi wisatawan. 

Semakin banyak wisata yang dibangun, maka banyak pilihan bagi warga untuk bisa berwisata sehingga tidak menumpuk di satu titik. Tidak hanya itu, dengan adanya wisata berbasis pedesaan ini, bisa juga sebagai cara berwisata bagi masyarakat sekitar agar tidak berwisata ke tempat jauh yang rentan terhadap penularan covid. Jika ada yang dekat dan bagus kenapa harus mencari yang jauh?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun