Saya sempat ragu saat menuju ke penginapan yang saya tuju di kawasan Layur Semarang. Bukan pepesan kosong, baru berjalan masuk beberapa meter dari Jalan Kakap yang menjadi lokasi penginapan saya, suasana jadul langsung terasa.
Lebih tepatnya, saya seakan memasuki lorong waktu dengan mendapati aneka bangunan kuno yang kumuh dan tak terawat. Meski penginapan yang saya gunakan menempati bangunan baru, entah mengapa, suasana jadul benar-benar langsung menusuk di hati.
Termasuk, saat menemukan sebuah masjid yang berada beberapa meter dari penginapan. Awalnya, saya tak menyadari ada masjid di sana karena bangunan itu mirip sekali dengan musala.Â
Namun, kala mata saya menangkap sebuah menara mercusuar dengan kubah masjid di atasnya, saya pun semakin yakin bahwa rumah Allah itu berdiri megah.
Teriknya mentari yang menerpa membuat tubuh ingin bergegas untuk mencari mesin pendingin di penginapan. Meski begitu, saya tertarik sejenak mengulik masjid yang bernama Masjid Menara Layur tersebut.
Pintu masjid yang hampir selalu tertutup ternyata membuat saya terperangah. Masjid ini mulanya memiliki pintu di bagian Kali Semarang yang berada di balik jalan kampung tempat saya berdiri.Â
Pintu itu kini sudah ditutup. Warna hijau muda yang menyala membuat bangunan masjid ini amat dikenali bahkan dari arah Halte Trans Semarang Layur, tempat saya sering naik turun Trans Jateng dan Trans Semarang.
Pantas saja, saya menemukan beberapa orang Arab yang berjualan kain di sekitar rel kereta menuju arah Stasiun Semarang Tawang. Uniknya, kampung tempat masjid ini berdiri yang juga tempat penginapan saya malah disebut Kampung Melayu.
Menara yang digunakan masjid ternyata dulunya memang sebuah mercusuar untuk mengawasi kapal-kapal yang berlabuh di Kali Semarang. Kini, menara itu tentu digunakan untuk pengeras suara azan yang terdengar hingga ke penginapan saya.