Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Utak-atik Posisi Guru Kelas Sekolah Dasar

19 November 2018   09:23 Diperbarui: 19 November 2018   11:49 1857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tidak ada yang lebih menyenangkan selain mengajar Kelas 5. - Dokumen Pribadi.

"Tahun depan gantian Pak Ikrom yang bertugas di kelas 6 ya!"

Mata saya mendadak terbelalak. Ucapan dari salah seorang guru senior yang mengajar kelas 6 tersebut langsung membuat saya spot jantung.

"Gantian, Pak. Yang tuwir-tuwir macam saya ini biar ngaso. Ngajar kelas kecil saja. Yang muda-muda itu lho yang naik ke kelas atas!" ucap sang ibu guru tersebut.

Saya langsung membayangkan setiap hari berada di kelas. Dengan asyiknya berkutat dengan latihan soal demi latihan soal serta aneka rupa fotokopi materi yang menumpuk di meja. Tidak ada lagi acara membina ekstrakulikuler band, memberikan materi olimpiade MIPA, hilir-mudik menyiapkan anak-anak lomba Bina Kreativitas, dan sederet acara di luar kelas lainnya.

Namun, kekhawatiran saya sejatinya bukanlah terkait pada hal-hal tersebut. Bukan rahasia umum, siswa Kelas 6 adalah "refleksi" dari keberhasilan sebuah sekolah. Nilai rata-rata USBN yang didapat oleh siswa-siswi kelas 6 masih dianggap sesuatu yang "suci" dalam pemeringkatan sekolah. Apalagi, sekolah tempat saya mengajar dulu dikenal sebagai sekolah favorit.

Tiap tahunnya, kami hanya berada satu strip di bawah sang jawara, sebuah SD Negeri di depan alun-alun kota dalam klasemen nilai USBN kategori SD Negeri. Menyadari hal itu, nyali saya sering ciut kala desas-desus untuk menaikkan saya menjadi wali kelas 6 terdengar nyaring. Rasanya, lebih baik saya fokus berkutat mengorganisasi kelas 5 yang seakan sudah mendarah daging. Baik dari materi, karakter siswa, hingga segala rupa administrasi yang menyertainya.

Meski begitu, saya hanyalah pekerja yang harus manut pada aturan. Termasuk, pada SK Kepala Sekolah yang menjadi dasar pembagian tugas guru kelas ini. SK ini akan dibagikan tiap awal tahun pelajaran. Masa-masa pembagian SK tersebut adalah masa kritis bagi guru kelas. 

Jika tugas yang diberikan sesuai dengan pilihan hati, rasanya hati menjadi plong. Sama plongnya kala KS tetap mempercayakan tingkatan kelas 5 kepada saya. Beliau mempertimbangkan mengenai tugas tambahan saya dalam mengerjakan laporan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tak mungkin jika saya meninggalkan anak-anak menjadi alasan beliau tidak memasang saya di kelas 6.

Pembagian tugas guru kelas ini memang menjadi hak prerogatif Kepala Sekolah. Sama halnya dengan pembagian tugas Menteri yang dilakukan oleh Presiden, beberapa kriteria yang memenuhi sosok guru kelas menjadi salah satu pertimbangan. Selain itu, usulan dari guru senior yang dianggap telah lama malang melintang sebagai guru kelas juga bisa jadi bahan pertimbangan. Meski, dalam hal ini tentu saja pertimbangan tersebut harus berdasarkan obyektivitas.

Pertimbangan pertama yang dilihat biasanya dari status kepegawaian guru tersebut. Di sekolah saya dulu, sang KS lebih memprioritaskan guru PNS untuk mengajar di kelas atas (4,5, dan 6). Sedangkan, guru honorer ditempatkan di kelas bawah (1, 2, dan 3). 

Menurut sang KS, kebijakan ini dilandasi agar sang guru PNS tetap mau belajar dengan tanggung jawab tinggi. Dibandingkan jika mengajar guru kelas bawah, pengetahuan mereka akan terbatas pada materi-materi sederhana, semisal perkalian untuk muatan matematika.

Jam mengajar yang lebih panjang pada kelas atas juga menjadi pertimbangan. Sebagai PNS yang tersertifikasi, tentu akan dirasa lebih adil jika mereka mengajar dalam rentang waktu yang cukup panjang. Dibandingkan, jika mereka mengajar kelas bawah yang akan berakhir sekitar pukul 11 siang.

Petimbangan kedua, tentu mengenai gender dari sang guru. Biasanya, guru laki-laki akan ditempatkan di kelas atas. Sementara, guru perempuan ditempatkan di kelas bawah. Termasuk, guru kelas 1 yang hampir semua sekolah menempatkan ibu guru pada tugas tersebut. Jarang sekali guru kelas bawah disandang oleh para bapak guru. Kalaupun ada, biasanya mereka akan mengajar mulai kelas 2 atau 3.

Kemampuan pedagogik juga menjadi salah satu hal penting dalam penentuan posisi guru kelas. Walau berstatus PNS, jika sang guru tersebut dirasa lebih mampu menangani siswa kelas 1 dan tak ada guru lain yang bisa mengampu kelas tersebut. Terlebih, jika ada guru senior yang telah terkenal telaten dalam membimbing siswa mengenal huruf, membaca, menghitung, atau menulis dengan rapi.

Guru-guru semacam ini hampir terdapat di semua sekolah dan telah menjadi "ikon" sekolah tersebut. Tugasnya sebagai guru kelas 1 tak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Hanya purna tugaslah yang membuat posisinya terganti. Itupun biasanya harus disertai sedikit pro dan kontra karena jarang sekali yang guru mau mengajar di kelas 1.

Bu Tri (kiri), Guru Kelas 1 di sekolah saya dulu yang sudah lebih dari 30 tahun mengajar Kelas 1. - Dokumen Pribadi.
Bu Tri (kiri), Guru Kelas 1 di sekolah saya dulu yang sudah lebih dari 30 tahun mengajar Kelas 1. - Dokumen Pribadi.
Salah satu faktor lain yang menjadi alasan penempatan guru kelas pada tingkatannya adalah masalah administrasi. Jika pertimbangan KS tidak menaikkan tugas saya sebagai guru kelas 6 adalah mengenai pengerjaan laporan BOS, maka beberapa alasan lain juga bisa menjadi bongkar pasang tugas ini.

Tak hanya sekedar mengajar, guru kelas juga dibebankan tugas administrasi, yakni presensi siswa, pengerjaan rapor, perangkat mengajar (RPP, silabus, prota, promes, dll), hingga berbagai administrasi lainnya. Banyak guru yang mengalami rotasi pembagian tugas mengajar mengeluh akan hal ini.

Mereka biasanya merasa keberatan lantaran sudah membuat aneka administrasi tersebut dan mengulang lagi jika mengalami perubahan kelas. Salah satunya dialami oleh seorang ibu guru sekolah lain yang bercerita telah mengalami 3 kali pergantian tugas sebagai guru kelas. Ia harus berkutat pada administrasi tersebut. 

Tiap tahun, ia juga harus membuat soal ulangan baru mengingat jenjang kelas yang diampunya berbeda. Maka, di sekolah saya dulu biasanya rotasi dilakukan setelah 2 tahun pelajaran atau jika ada guru yang mutasi dan purna tugas.

Dari penuturan salah seorang pengawas sekolah kala berbincang di sebuah acara, seharusnya momen penempatan tugas guru kelas ini menjadi ajang bagi KS untuk mengasah kemampuan manajerialnya. Kepala Sekolah yang baik tentu akan mempertimbangkan banyak hal sebelum menandatangani SK pembagian tugas guru kelas.

Dasar pertama tentunya adalah skill yang dimiliki guru. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang telah diterima sekolah bisa menjadi pertimbangan. Guru yang lebih dominan mendapatkan hasil baik untuk kompetensi pedagogik seyogianya ditempatkan di kelas bawah. Sedangkan, guru yang mendapatkan hasil dominan yang lebih baik untuk kompetensi pengetahuan seyogianya ditempatkan di kelas atas.

KS juga bisa melakukan UKG sederhana dengan bekerja sama dengan pengawas untuk mengetahui kompetensi yang dimiliki guru tersebut. Dari UKG sederhana ini, nantinya akan muncul rekomendasi dari pengawas, guru-guru mana yang lebih cocok ditempatkan di kelas atas atau bawah. Sayangnya, kegiatan semacam ini mustahil bisa dilakukan mengingat keterbatasan waktu dan biaya.

Setelah satu tahun pelajaran pun, KS juga harus melakukan evaluasi menyeluruh, dari kelas 1 hingga 6. Evaluasi dilakukan untuk melihat kekurangan dan kelebihan guru kelas. Tak hanya masalah akademik, poin penting lain semisal cara guru kelas berkomunikasi dengan wali murid, kedispilinan, dan kemampuan manajerial guru kelas juga seharusnya menjadi pertimbangan. 

Terutama, guru honorer baru yang masih minim pengalaman. Sebelum menjadi guru kelas seutuhnya, biasanya beberapa sekolah akan menempatkan mereka sebagai guru pendamping kelas kecil. Hasil evaluasi setelah satu tahun berjalan akan menjadi catatan apakah mereka layak menjadi guru kelas atau tidak.

Faktor kerja sama dengan satu kolega juga bisa menjadi pertimbangan. Terutama, jika sekolah tersebut memiliki kelas paralel, yakni sekolah yang memiliki kelas lebih dari 1 pada setiap tingkatnya. Menurut sang kepala sekolah, alangkah baiknya satu set kelas paralel diisi oleh kombinasi guru senior dan junior.

Guru junior akan banyak membantu guru senior dalam urusan IT dan administrasi. Kemampuan mereka dalam menggunakan perangkat lunak akan sangat membantu mengerjakan tugas administrasi. Guru junior akan memandu guru senior dalam menggunakan aneka aplikasi atau perangkat lunak yang sukar dilakukan oleh mereka akibat faktor usia.

Sebaliknya, guru senior akan memberi banyak wawasan akan pengelolaan kelas kepada guru junior. Kenyangnya pengalaman sebagai guru kelas membuat guru senior akan bisa membimbing guru junior mengatasi banyak hal. 

Beberapa diantaranya yakni bagaimana mengatasi siswa bertengkar, menghadapi orang tua yang suka protes, mengelola jadwal mengajar yang padat, menyusun kisi-kisi soal dan lain sebagainya. Tentu, soft skill semacam ini akan terbentuk seiring waktu dan proses saling belajar yang berkesinambungan.

Menjadi guru kelas memang tidaklah mudah. Tanpa mengesampingkan peran guru mata pelajaran, posisi guru kelas menjadi nyawa bagi pembentukan karakter bangsa. Posisi guru kelas yang tepat memang menjadi salah satu faktor utama dalam keberhasilan pendidikan. Tapi, sebagai guru yang baik, ia harus mau terus belajar. Termasuk, bersedia ditempatkan di kelas berapapun dengan segala tugas dan tanggung jawabnya.

Sekian. Mohon maaf jika ada kesalahan. Selamat menjelang Hari Guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun