Aku tak tahu kepada siapa aku bercerita, berlindung, dan mendapatkan kembali kemerdekaanku. Bagiku saat itu kau sama saja menjajahku. Jajahan verbal yang tak sejengkal pun memberikanku kebebasan.
Timbunan luka ini terbayar sudah.Â
Kini kau berbalik jadi budakku. Tapi bukan budak cinta layaknya para wanita korban jeratan nafsumu. Aku masih lelaki normal yang bertekad menghentikan kebengisanmu pada mereka.
Kau tahu, saat mereka menangis mengadu kepadaku, saat itulah naluri lelakiku muncul. Naluri yang terpendam lama dari luka yang paripurna. Kau seharusnya sadar mereka tak sekuat kita.Â
Kaupun seharusnya sadar mereka terbuat dari gelas kaca yang mudah pecah. Bukan sekuat baja layaknya kita. Segores saja luka yang kaucoba tanamkan pada mereka, goresan luka lain akan terus melebar.
Kumainkan rambutmu yang seperti gelar mahkota. Masih basah oleh jelaga rambut, mahkota itu kurusak sedemikian rupa hingga tak lagi berbentuk. Sama tak berbentuknya dengan mahkota para wanita malang itu.
Kalau aku menuruti egoku, luka di tubuhmu akan semakin tak terperi. Lebam di wajahmu akan semakin berwarna. Kalau saja nafsuku tak terkendali, tulang belulangmu bisa saja remuk. Tapi aku tak sebengis yang kau kira. Bisa memenangkan pertarungan satu lawan satu denganmu aku sudah puas.
Bisa mendengar rintihan luka dan permohonan ampun bagiku sudah cukup. Sudah impas dengan apa yang didapat oleh para wanita malang itu. Yang menjerit dan terus merintih kesakitan akibat ulahmu. Yang lukanya tergores oleh lelaki jahanam macam dirimu.
*Karya seorang lelaki yang pertama kali ikut even fiksi. Harap maklum.