Mohon tunggu...
Ikon Sauki
Ikon Sauki Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Khas Jember

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary

Karambol: Permainan Sederhana, Silaturahmi yang Terjaga dalam Bingkai Budaya dan Hukum

10 Juli 2025   23:58 Diperbarui: 10 Juli 2025   23:58 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke rumah tetangga. Tidak ada acara formal, tidak juga ada pesta. Hanya berkumpul bersama anak-anak rumah, duduk melingkar, dan sebuah papan karambol yang menjadi pusat perhatian. Di tengah gelak tawa dan keseruan yang tercipta, saya menyadari bahwa kebahagiaan itu tidak harus menunggu alasan besar. Tidak perlu syarat rumit atau momen istimewa. Cukup kumpul, cukup hadir, cukup satu permainan yang menyatukan semua usia, semua latar belakang, dan semua cerita yang ingin dibagikan.

Karambol bukanlah sekadar permainan. Ia adalah cermin budaya, warisan dari sejarah panjang yang berakar dari India sejak abad ke-18. Awalnya dimainkan oleh para bangsawan, permainan ini kemudian menyebar ke berbagai kalangan dan menembus batas negara, termasuk Indonesia. Kini, di berbagai penjuru negeri, karambol hidup sebagai permainan rakyat. Ia dimainkan di teras rumah, sebagai simbol dari silaturahmi yang aktif, bukan pasif. Karambol menjadi pengikat sosial yang tak lekang oleh zaman, hadir dalam suasana keluarga yang hangat maupun di tengah komunitas warga yang ingin melepas penat.

Menurut artikel dari Orami, karambol tidak hanya menyenangkan, tapi juga memiliki manfaat edukatif. Ia melatih konsentrasi, ketepatan, serta strategi dalam mengambil keputusan. Nilai inilah yang membuat karambol tak sekadar media hiburan, tapi juga sarana membentuk karakter. Namun demikian, seperti banyak hal lain dalam kehidupan, karambol pun bisa kehilangan maknanya ketika disalahgunakan. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2121 K/Pid.Sus/2014, tercatat bahwa permainan karambol dijadikan sarana perjudian. Beberapa orang memasang taruhan di atas permainan yang semestinya netral dan ramah keluarga. Hal ini menjadi pengingat bahwa esensi dari sebuah aktivitas bisa bergeser, tergantung pada niat dan perlakuan manusianya.

Namun harus ditekankan, penyalahgunaan tidak lantas menjadikan karambol sebagai sesuatu yang negatif. Sama seperti pisau bisa digunakan untuk memasak atau menyakiti, karambol pun adalah sarana yang netral, bergantung pada penggunaannya. Selama dimainkan tanpa taruhan, tanpa niat judi, dan hanya sebagai bentuk silaturahmi dan relaksasi, karambol tetap menjadi permainan yang bernilai budaya dan sosial tinggi. Bahkan, dalam konteks rekreasi yang sehat, ia menjadi alternatif positif dari banyak hiburan modern yang sering kali bersifat individualistik atau digital dan mengasingkan antaranggota keluarga.

Karambol mengajarkan bahwa bahagia itu sederhana. Kita tidak perlu ruang mewah atau teknologi canggih untuk tertawa bersama. Cukup satu papan, beberapa koin, dan hati yang terbuka untuk hadir bersama. Ia menjadi saksi bahwa dalam setiap pantulan striker, ada energi yang mempertemukan jiwa, bukan hanya tangan yang bergerak. Karambol adalah permainan, ya, tetapi lebih dari itu, ia adalah budaya, nilai, dan bentuk kasih sayang yang dibagikan tanpa syarat.

Sumber:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun