Makin hari, Israel makin berani menunjukkan taringnya. Doha, Ibu kota Qatar diserang (9/9). Mirisnya, serangan dilakukan saat tim negosiasi membahas proposal gencatan senjata yang diajukan oleh Amerika Serikat (AS). Netanyahu menegaskan, Israel yang memulai, melakukan, dan bertangung jawab penuh atas serangan tersebut.
Pernyataan Netanyahu yang blak-blakan seolah-olah sedang menunjukkan bahwa Israel tak takut mendapatkan sanksi atas pelanggaran hukum internasional. Qatar merupakan negara berdaulat, sekutu AS sekaligus mediator kunci gencatan senjata Israel-Hamas. Namun, negara yang berbatasan dengan Teluk Persia tersebut tak luput dari serangan Israel.
Pepesan Kosong Gencatan SenjataÂ
Terkait dengan serangan di Doha, Trump menyatakan bukan kebijakan Washington melainkan keputusan sepihak Netanyahu. Sekilas, pernyataan Trump bisa diterima. Namun, sehebat apa Israel hingga berani mengambil kebijakan sendiri tanpa berkomunikasi dengan AS? Sekuat apa Israel hingga AS tak mampu mengendalikan negara tersebut?
Ada yang aneh dengan pernyataan Trump, mengingat, Qatar merupakan pangkalan militer AS terbesar di Timur Tengah. Qatar juga merupakan salah satu negara termaju secara militer. Armada Angkatan Udara moderen Qatar dikembangkan dengan sistem pertahanan udara berlapis. Secara teori, Qatar sulit ditembus. Anehnya, serangan Israel tak terdeteksi radar.
Lebih dari itu, serangan Israel diarahkan ke kantor biro politik Hamas. Kantor tersebut berdiri di Doha, Qatar sejak tahun 2012. Selama ini Qatar membangun citra diplomasi mampu merangkul negara-negara yang bermusuhan. Para pejabat Qatar menyatakan, kantor biro politik Hamas didirikan atas permintaan Washington.
Lalu, siapa kiranya yang membocorkan tempat negosiasi tersebut ke Israel? Sangat sulit untuk mempercayai bahwa AS tidak terlibat. Selama ini, AS dan Israel seperti dua sisi mata uang. Kedua negara tersebut pun makin sulit dipercaya. Serangan di Doha membuka mata dunia, gencatan senjata Israel-Hamas hanyalah pepesan kosong.
Serangan yang menargetkan pimpinan Hamas tersebut jelas menunjukkan Israel tak menginginkan kesepakatan apa pun. Sebelumnya, Israel telah melanggar perjanjian gencatan senjata. Bahkan, serangan Israel terhadap Gaza per 18 Maret 2025 makin membabi buta. Kini, Israel kembali berusaha menggagalkan peluang gencatan senjata dengan sengaja.
Qatar Diserang, AS Terlibat?
Cukup sulit untuk mempercayai pernyataan Trump bahwa tidak ada keterlibatan AS. Sama halnya, cukup sulit meyakini Trump tidak berat sebelah. Dunia bisa melihat sikap dan perkataan Trump selama ini sulit dipegang. Rasanya baru kemarin Trump sesumbar perang Israel-Gaza akan berakhir dalam waktu dua sampai tiga pekan (tribunnews.com, 28/8/2025).
Belum dua pekan, Menara Musthaha setinggi 12 lantai di Gaza diratakan melalui serangan udara (6/9/2025). Esoknya, Menara Soussi kembali diserang setelah Israel memperingatkan warga Gaza untuk mengungsi. Menara setinggi 15 lantai tersebut berada di kawasan Tal al-Hawa, tepat di seberang gedung Lembaga Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).
Israel mengklaim menara tersebut dipakai Hamas untuk operasi militer. Namun, pihak Gaza membantah dan menegaskan Israel hanya mencari-cari alasan untuk menargetkan warga sipil. Muncul pertanyaan, apakah penyerangan terhadap dua menara tersebut merupakan bagian dari upaya mengakhiri perang Israel-Gaza seperti yang dimaksudkan Trump?
Sungguh ironis jika klaim penghentian peperangan justru dilakukan dengan merobohkan dua menara Gaza? Seolah-olah kedzaliman, kerusakan, dan kerugian yang terjadi di Gaza belum cukup. Jika Israel benar-benar ingin menghentikan perang, seharusnya tak lagi ada serangan. Mirisnya, di tengah gaung proposal gencatan senjata, Israel masih terus menginvasi Gaza.
Terkait proposal gencatan senjata baru, Trump beralasan demi mengakhiri perang. Trump mengklaim Israel telah menerima persyaratan proposal tersebut dan menuntut Hamas juga menyetujuinya. Trump menegaskan, kali ini kesempatan terakhir dan akan memberi konsekuensi jika Hamas menolak persyaratan yang diajukan (tempo.co, 8/9/2025).
Sebenarnya, pihak Israel belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait persetujuan persyaratan gencatan senjata. Namun, Trump sudah mengultimatum Hamas. Ironisnya, ketika pimpinan Hamas bersedia melakukan perundingan, justru mendapat serangan. AS menuntut Hamas melakukan perundingan, tetapi tidak menjamin keamanan para pimpinan mujahid tersebut.
Masyarakat dunia bisa melihat siapa yang sesungguhnya ingin mempertahankan peperangan. Sikap AS terhadap Hamas selama ini memang keras. Sebaliknya, AS melunak ketika berhadapan dengan Israel meski telah melakukan banyak pelanggaran hukum internasional. Dari sini saja sudah tampak bahwa AS masih menjadi sekutu setia Israel.
Ibarat hubungan pasangan suami-istri yang mengalami pasang surut, selama visi misi masih sejalan, maka masih berpotensi rujuk. Hubungan antara Trump dan Netanyahu tampaknya juga demikian. Setelah sebelumnya diisukan renggang, Trump terlihat masih berupaya menjaga posisinya menjadi sahabat sekaligus sekutu Netanyahu.
Jadi, tak heran jika sikap Trump inkonsisten. Sebelum isu gencatan senjata baru, Trump sempat menyatakan dukungan terhadap Israel untuk menghancurkan Hamas. Trump beralasan, sandera AS-Israel hanya bisa dibebaskan jika Hamas dilenyapkan. Padahal, Hamas senantiasa menjaga hak-hak para sandera dan disaksikan sendiri oleh para sandera yang telah dibebaskan.
Serangan bertubi-tubi dan pelaparan sistematis di Gaza tak serta-merta membuat Hamas berlaku bar-bar terhadap tawanan. Andai Israel-AS benar-benar ingin sandera dibebaskan, maka sudah terjadi jauh-jauh hari. Bukankah Hamas hanya ingin menukar sandera dengan gencatan senjata?
Lebih dari itu, Israel tak akan melakukan blokade total terhadap Gaza. Blokade total tak hanya menjadikan warga Gaza mengalami pelaparan sistematis, tetapi juga mengancam nyawa para sandera. Akhirnya, proposal gencatan senjata Trump lebih tampak sedang menunjukkan citra positif sebagai 'pemimpin dunia yang mampu menyolusi konflik internasional'.
Pelajaran bagi Dunia Islam
Terkait serangan di Doha, pihak Hamas mengumumkan ada enam orang Hamas gugur. Akan tetapi, para delegasi yang merupakan pimpinan Hamas selamat. Serangan di Doha bisa menjadi pelajaran penting dan berharga bagi dunia Islam. Selama ini, para pemimpin negeri muslim di dunia hanya beretorika melihat banjir darah di Palestina.
Padahal, apa yang terjadi di Palestina, khususnya Gaza merupakan pelanggaran HAM berat. Berbagai pelanggaran hukum internasional terjadi di sana. Mulai dari pemakaian bom fosfor putih, serangan terhadap anak-anak, wanita, orang tua, dokter, tenaga kesehatan, jurnalis, serangan terhadap rumah sakit dan sekolah hingga pelaparan yang disengaja.
Mirisnya, pemimpin negeri-negeri muslim, termasuk pemimpin negara-negara Arab hanya mampu mengecam. Lebih miris lagi ketika ibu kota Qatar, Doha diserang, pemimpin negara-negara Arab, termasuk Negara Teluk pun hanya mampu mengutuk. Kondisi muslimin usai keruntuhan Utsmaniah pasca Perang Dunia I benar-benar tak lagi bertaring.
Ironis. Keberadaan pangkalan militer AS di Qatar seharusnya bisa menjamin keselamatan Negara Teluk tersebut. Lebih dari itu, Trump baru saja mendapatkan komitmen investasi dari Qatar senilai US$1,2 triliun. Sayangnya, kerjasama militer dan bisnis kedua negara tersebut tak menjadikan AS lebih melindungi Qatar. Â
Selain Qatar, Arab Saudi juga berkomitmen untuk berinvestasi sebesar US$600 miliar sementara Uni Emirat Arab berkomitmen sebesar US$200 miliar. Investasi negara-negara Teluk tersebut diperoleh setelah Trump melakukan lawatan pada Mei lalu. Lawatan Trump ke Negara Teluk murni bisnis dan tidak membahas krisis Gaza (liputan6.com, 17/5/2025).
Lalu, apa pelajaran paling berharga atas serangan Israel terhadap Doha? Melihat serangan Israel di Doha, Trump cenderung menutup mata dan terkesan berlepas tangan. Sikap tersebut menyiratkan makna, setunduk-tunduknya penguasa muslim terhadap AS, Negeri Paman Sam tersebut tak akan membela dan melindungi negeri muslim ketika mendapat ancaman dari luar.
AS merupakan sekutu Qatar sekaligus sekutu Israel. Khusus masalah Palestina, AS jelas lebih membela Israel dibandingkan negara sekutu lainnya. Selama ini, penguasa muslim di dunia terkesan takut dengan AS hingga tak berani bersikap lebih dari sekadar beretorika. Sayangnya, menjadi kawan AS juga tak menjamin keselamatan dan keamanan dalam negeri.
Bagi Hamas, serangan di Doha juga menjadi pelajaran penting. Mengharapkan perlindungan dari negeri-negeri muslim dalam kondisi saat ini sangat mustakhil. Lebih mustakhil lagi mengharap lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menjaga perdamaian dunia. Sementara itu, upaya melakukan negosiasi gencatan senjata lebih tampak ilusi.
Artinya, memang tak ada jalan lain selain melanjutkan jihad. Keberadaan suatu negara yang setara dengan Israel dan Amerika sudah menjadi keharusan. Suatu negara yang takut hanya kepada Allah SWT. dan memahami jihad sebagai puncak keagungan Islam. Suatu negara yang lebih mengutamakan kehormatan muslimin dibanding tunduk pada negara asing.
Tak berlebihan jika sebagian muslimin merindukan Khilafah. Sistem pemerintahan Islam tersebut terbukti menjadikan muslimin meraih puncak kemuliaan tertinggi. Tak heran jika Netanyahu menyatakan, tak akan membiarkan Kekhilafahan berdiri dalam bentuk apa pun. Netanyahu jelas paham jika hal itu terjadi, maka visi misi Israel di Palestina akan terhenti.
Wallahu'alam bish showab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI