"Kapan terakhir kali kamu memperbarui CV?"
Jika pertanyaan itu membuatmu mendadak ingin membuka folder bernama "CV terbaru fix final revisi beneran.docx," maka selamat, kamu tidak sendirian.Â
Di tengah riuhnya dunia kerja zaman sekarang, banyak orang masih mengandalkan dokumen yang katanya sakral ini untuk membuka pintu karier impian. Tapi di era digital dan medsos yang segala sesuatunya bisa viral dalam lima menit, seberapa jauh sih CV bisa membawa kita?
Mari kita jujur sebentar. CV---atau curriculum vitae---adalah semacam katalog hidup kita. Ia memuat daftar pendidikan, pengalaman kerja, pelatihan, prestasi, hingga kegiatan OSIS zaman SMA yang dulu kita anggap keren.Â
Tapi, masalahnya, CV itu kaku. Ia tak bisa tersenyum. Ia tak bisa menjelaskan bagaimana kita menangani bos perfeksionis atau bagaimana kita tetap ramah ketika klien nanya hal yang sama lima kali.Â
CV hanya bisa bilang, "Pernah kerja di sini, pernah ikut pelatihan itu." Tidak ada cerita, tidak ada napas.
Sementara itu, dunia kerja tidak hanya butuh data---dunia kerja butuh rasa. Di sinilah personal branding masuk dan menggebrak pintu HRD dengan penuh percaya diri.Â
Personal branding bukan cuma tren orang-orang yang suka tampil di media sosial sambil bilang, "Stay humble guys." Ia adalah identitas profesional kita yang hidup, bernafas, dan bisa berkembang, bahkan tanpa kita sadari.
Mari kita bayangkan dua orang pelamar. Yang satu punya CV tiga halaman lengkap dengan sertifikat TOEFL, pelatihan manajemen stres, dan gelar magister manajemen sumber daya manusia. Yang satunya lagi, CV-nya singkat dan sederhana.Â
Tapi dia punya blog yang membahas cara menangani konflik kantor, aktif berbagi insight di LinkedIn, dan pernah jadi narasumber webinar soal komunikasi di tempat kerja.Â
Kira-kira, mana yang lebih menarik buat perusahaan yang mencari karyawan adaptif, komunikatif, dan punya nilai?