Sejarah membuktikan, Konklaf seringkali mengejutkan. Tahun 2013, Jorge Mario Bergoglio---seorang Jesuit dari Argentina---masuk sebagai "kuda hitam" dan keluar sebagai Paus Fransiskus.Â
Tahun 1978, Karol Wojtyla yang nyaris tak dikenal tiba-tiba terpilih sebagai Paus Yohanes Paulus II.Â
Kali ini, pertaruhan lebih besar. Gereja Katolik tak hanya butuh pemimpin yang saleh, tapi juga visioner---seseorang yang bisa merangkul perempuan, kaum muda, dan korban ketidakadilan, tanpa mengikis doktrin inti.Â
Di tengah dunia yang terpolarisasi, paus baru harus menjadi jembatan: antara kaya-miskin, tradisi-modernitas, Timur-Barat.Â
Di sudut sebuah gereja di Jakarta, seorang ibu paruh baya berdoa dengan rosario di tangan. "Saya tidak peduli dari mana paus berikutnya berasal," katanya. "Yang penting, ia bisa mendengar tangisan orang miskin seperti kami."Â
Ucapan itu mengingatkan kita: di balik hiruk-pikuk politik Vatikan, paus pada akhirnya adalah "pelayan para pelayan Tuhan". Siapapun yang terpilih, tugasnya bukanlah memerintah, melainkan mengangkat yang terinjak, menyembuhkan yang luka, dan---seperti Fransiskus---"membangun Gereja yang miskin untuk orang miskin".Â
Konklaf mungkin penuh intrik, tapi bagi 1,3 miliar umat Katolik, ini adalah momen untuk berharap: bahwa dari asap putih di Kapel Sistina, akan lahir pemimpin yang membawa cahaya---bukan untuk Vatikan, tapi untuk dunia yang gelap.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI