Tapi bisakah koran bertahan di tengah gempuran digital?Â
Jawabannya rumit. Di satu sisi, media cetak jelas menyusut. Tapi di sisi lain, ia menemukan bentuk baru sebagai simbol perlawanan. The New Yorker, misalnya, tak hanya mencetak edisi mingguan, tapi juga menjual merchandise bertema artikel legendaris.Â
Di Sulawesi Tengah, koran lokal seperti Mercusuar dan Radar Sulteng bertahan dengan fokus pada isu hiperlokal yang tak tersentuh media nasional. Mereka tak lagi mengandalkan iklan korporasi, tapi beralih ke langganan komunitas dan edisi untuk acara spesial.Â
Ini bukan sekadar bisnis. Ini tentang menjaga martabat.Â
Di tengah banjir informasi, koran mengingatkan kita bahwa jurnalisme bukanlah lomba lari, tapi maraton. Riset Universitas Stanford tahun 2022 membuktikan, pembaca koran cetak memiliki retensi informasi 30% lebih tinggi daripada pembaca daring. Mengapa?Â
Karena membaca di kertas melibatkan lebih banyak indra: mata yang fokus (tanpa gangguan iklan pop-up), tangan yang membalik halaman (bukan men-scroll tanpa henti), dan pikiran yang terlatih untuk menyerap alur cerita.Â
Tapi tantangannya nyata. Generasi muda lebih memilih TikTok ketimbang koran. Menurut Survei Literasi Digital Indonesia 2023, 89% remaja mengakses berita melalui media sosial, dan hanya 4% yang membaca koran fisik.Â
Namun, di balik angka itu, ada celah harapan: 62% responden mengaku lelah dengan hoaks dan berita sensasional. Di sinilah peluang media cetak---atau setidaknya prinsip-prinsipnya---untuk kembali diadaptasi.Â
Seorang teman jurnalis bercerita, "Dulu, deadline kami pagi untuk terbit esok hari. Sekarang, deadline adalah real time. Tapi saya masih menyimpan kebiasaan lama: menulis draf di kertas sebelum diketik." Ritual kecil itu, baginya, adalah cara menjaga etos jurnalistik: tak terburu-buru, meski dunia menuntut kecepatan.Â
Koran mungkin suatu hari akan punah. Tapi prinsip di baliknya---kedalaman, akurasi, dan empati---tidak boleh ikut mati. Seperti kata Ryszard Kapuciski, "Wartawan yang baik adalah yang memahami, bukan hanya melaporkan."Â
Di era algoritma, pemahaman itu bisa datang dari artikel panjang di situs web, podcast investigasi, atau newsletter spesialis. Tapi bagi sebagian orang, ia tetap terasa lebih otentik ketika tercetak di atas kertas, dengan tinta yang kadang menempel di jari.Â