Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Koran: Benteng Terakhir Jurnalisme Mendalam

19 April 2025   19:02 Diperbarui: 21 April 2025   10:41 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membaca koran sudah langka terlihat di era digital (dok. pribadi/kolase)

"Good journalism is not about speed, but about understanding." Kalimat itu terngiang di kepala saya suatu pagi, sembari jari-jari ini menekan layar ponsel yang dipenuhi notifikasi berita. 

Tapi ingatan justru melayang ke tahun 1990-an, ketika tangan saya membuka koran di teras rumah. Suara gesekan kertas yang khas, aroma tinta yang menusuk hidung, dan sensasi halaman yang kadang melukai jari jika tergores terlalu cepat. 

Itu adalah ritual pagi: duduk tenang, membaca koran sambil menyeruput kopi susu. Kini, semua terasa seperti kisah dari zaman yang berbeda. 

Di sudut Kota Palu, warung kopi yang dulu dipenuhi orang membaca koran kini hanya ramai oleh suara klik ponsel. Di sekolah-sekolah, siswa lebih asyik membuka Instagram daripada membawa kliping berita. Bahkan di kantor pemerintah, tumpukan koran di meja resepsionis kerap tertutup debu, seolah menjadi hiasan yang tak lagi disentuh. 

Data dari Asosiasi Perusahaan Periklanan Indonesia (APPINA) tahun 2023 menunjukkan, penjualan koran nasional turun 70% dalam dekade terakhir. Tapi di balik angka itu, ada fakta menarik: 34% pembaca koran di daerah masih menganggap media cetak sebagai sumber berita paling terpercaya. 

Mengapa? 

Koran mungkin tak lagi menjadi pusat informasi, tapi ia diam-diam bertahan sebagai penjaga nilai yang mulai hilang di dunia digital: kedalaman. Di era ketika berita viral bisa muncul dan tenggelam dalam hitungan jam, koran mengajarkan kita untuk berhenti sejenak. 

Seperti kata Alan Rusbridger dalam Breaking News (2018), jurnalisme hari ini terjepit antara keinginan mempertahankan bisnis dan memelihara kepercayaan publik.

Media cetak, dengan proses editorial yang ketat, tetap memegang prinsip: setiap kata harus ditimbang, setiap fakta diverifikasi, setiap narasi dibangun dengan kesadaran bahwa kertas yang tercetak tak bisa di-delete. 

Di Jepang, Yomiuri Shimbun---koran dengan sirkulasi tertinggi di dunia---masih dicetak untuk 8 juta pelanggan. Di Indonesia, Kompas dan Jawa Pos bertahan bukan karena naif, tapi karena mereka paham bahwa sebagian pembaca rindu pada tulisan yang tak sekadar clickbait. 

Seorang kakek di Palu bercerita, "Saya masih langganan koran karena beritanya utuh. Kalau di internet, judulnya bombastis, tapi isinya dangkal." Ini bukan nostalgia, melainkan bukti bahwa ada ruang untuk jurnalisme yang lambat, merenung, dan manusiawi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun