Beberapa pertanyaan menguak di penguhujung malam. Tentang tanah yang kau gali diam-diam. Tentang awan yang kau petik untuk ditanam. Apakah dengan menjadi petani hujan, air mata tak lagi berhamburan?
Aku tahu, kehilangan selalu memantik kebasahan. Memunculkan tunas-tunas pilu dalam kelukaan. Namun apakah kau sadar? pekarangan hatimu tak cukup untuk menahan air mata yang datang bertandan-tandan. Meluap menjebolkan kandang, hingga kebanjiran tak terelakkan.
Jangan egois! kau butuh tanah yang luas untuk menampung tangis.
Sayang, aku punya sebuah penawaran. Sebidang taman yang dikelilingi resapan. Cocok untuk kita garap bersama dalam suka maupun duka. Kita akan menanam bibit-bibit pelangi yang telah kukantongi sejak lama. Kau tahu? buahnya berbentuk hati dengan aneka warna-warni. Rasanya manis, kujamin akan selalu manis, hingga waktu habis, berhenti berdesis.
Namun jangan kaget! Sebagian masih tandus, sebab kemarau kerap mengabui kesuburannya. Tapi tak mengapa, demi dirimu, aku siap membajak dan memberikan pupuk asa terbaik di semesta. Hingga mencapai titik kegemburan sempurna.
Lalu, bersama kita tanam bibit pelangi dengan kasih sepenuh hati. Agar menjadi salah satu tanam dari taman-taman surgawi.
Angsana, 19 Mei 2019