Mohon tunggu...
Ike Devita
Ike Devita Mohon Tunggu... mahasiswa

Ilmu adalah jendela dunia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Natrium Nitrit Dalam Daging Olahan dan Pertimbangan Resiko Kesehatan

24 Juni 2025   17:26 Diperbarui: 24 Juni 2025   17:26 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Produk daging olahan seperti sosis, ham, daging asap, dan bacon telah menjadi bagian dari pola makan sehari-hari banyak orang, termasuk di Indonesia. Rasa gurih, tekstur lembut, dan kemudahan dalam pengolahannya membuat makanan ini populer di kalangan semua usia. Namun, di balik kemudahan dan kelezatannya, terdapat bahan tambahan yang memerlukan perhatian serius: natrium nitrit (NaNO). Bahan ini digunakan untuk mencegah pertumbuhan bakteri berbahaya seperti Clostridium botulinum dan menjaga warna merah muda daging, namun penggunaannya menimbulkan kontroversi terkait efek kesehatan jangka panjangnya.Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), melalui badan riset kanker internasionalnya, International Agency for Research on Cancer (IARC), secara resmi mengklasifikasikan daging olahan sebagai karsinogen Grup 1 pada tahun 2015, artinya zat ini adalah zat yang diketahui menyebabkan kanker pada manusia (IARC, 2015). Salah satu alasan utama klasifikasi ini adalah adanya natrium nitrit, yang selama pencernaan dapat bereaksi dengan senyawa lain untuk membentuk nitrosamin senyawa kimia dengan sifat karsinogenik. Nitrosamin telah terbukti dalam berbagai studi laboratorium sebagai pemicu kanker kolorektal dan kanker lambung. 

Selain itu, data dari Studi Beban Penyakit Global 2019 menunjukkan bahwa konsumsi berlebihan daging olahan berkontribusi terhadap lebih dari 34.000 kematian akibat kanker kolorektal setiap tahun di seluruh dunia (GBD, 2020). Meskipun angka ini mungkin terlihat kecil dibandingkan dengan penyebab kematian lainnya, risikonya bersifat kumulatif, terutama di kalangan konsumen jangka panjang. Di Indonesia, konsumsi daging olahan juga mengalami peningkatan. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, konsumsi daging olahan telah meningkat sebesar 8,7% dalam lima tahun terakhir, didorong terutama oleh pola konsumsi di perkotaan dan meningkatnya popularitas produk siap saji.Masyarakat umum sering tidak menyadari bahwa bahan tambahan seperti natrium nitrit, meskipun diizinkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), tetap memiliki batas konsumsi harian (Acceptable Daily Intake/ADI) yang harus dipatuhi. Sayangnya, kurangnya kesadaran tentang informasi komposisi makanan dan kebiasaan membaca label yang lemah membuat risiko ini semakin tidak terperhatikan. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif di kalangan masyarakat, pelaku industri, dan regulator untuk mengevaluasi kembali penggunaan natrium nitrit secara bijaksana. Melalui artikel ini, penulis berpendapat bahwa perlu dilakukan reformulasi peraturan dan peningkatan pendidikan publik yang lebih luas mengenai penggunaan natrium nitrit dalam produk daging olahan. Pendapat ini didukung oleh berbagai temuan ilmiah yang menunjukkan hubungan yang kuat antara konsumsi nitrit dan peningkatan risiko kanker, serta meningkatnya konsumsi produk daging olahan di Indonesia yang tidak disertai dengan literasi gizi yang memadai. Langkah-langkah pencegahan dan kesadaran konsumen merupakan kunci untuk mencegah dampak kesehatan yang merugikan jangka panjang pada populasi.

Sodium nitrit efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri Clostridium botulinum, yang menyebabkan botulisme yang berbahaya. Selain itu, sodium nitrit berperan penting dalam menjaga warna dan aroma daging olahan. Namun, di dalam saluran pencernaan, sodium nitrit dapat bereaksi dengan asam amino untuk membentuk nitrosamin, senyawa karsinogenik yang telah terbukti menyebabkan mutasi genetik dan pertumbuhan tumor pada hewan laboratorium (National Cancer Institute, 2021).Studi kohort EPIC (European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition), yang melibatkan lebih dari 500.000 peserta di 10 negara Eropa, menunjukkan bahwa konsumsi daging olahan terkait dengan peningkatan risiko kanker kolorektal sebesar 18% (Bastide et al., 2015). Sementara itu, studi lain oleh Harvard School of Public Health menemukan bahwa mengonsumsi hanya 50 gram daging olahan per hari (setara dengan satu sosis) meningkatkan risiko kematian akibat penyakit jantung sebesar 42% dan diabetes tipe 2 sebesar 19% (Micha et al., 2010).

Di Indonesia, meskipun data spesifik tentang korelasi antara konsumsi daging olahan dan kanker masih terbatas, laporan Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit tidak menular seperti kanker dan hipertensi terus meningkat. Hipertensi, misalnya, meningkat dari 25,8% (2013) menjadi 34,1% (2018), dan salah satu faktor utamanya adalah konsumsi makanan tinggi natrium, seperti daging olahan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).Selain itu, paparan nitrosamin tidak hanya mempengaruhi sistem pencernaan tetapi juga fungsi kognitif. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Neurobiology of Aging menemukan korelasi antara konsumsi nitrit dalam makanan dan peningkatan risiko gangguan neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer (Tawfik & Al-Bader, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa risiko natrium nitrit tidak hanya terbatas pada kanker tetapi juga berdampak pada kualitas hidup jangka panjang.

SOLUSI : MENYEIMBANGKAN KEPRAKTISAN DAN KESEHATAN

Menghadapi bahaya laten natrium nitrit dalam daging olahan, kita tidak dapat mengandalkan satu pendekatan saja. Kerjasama lintas sektor, strategi sistematis, dan komitmen bersama diperlukan untuk memastikan bahwa kenyamanan dan efisiensi pangan tidak mengorbankan keamanan konsumen. Lima solusi berikut ini ditawarkan sebagai langkah-langkah konkret dan saling mendukung untuk mengatasi masalah ini:

1. Peraturan yang Lebih Ketat dan Pemantauan yang Konsisten

Peraturan yang jelas tanpa pemantauan yang kuat hanya akan menjadi formalitas belaka. Meskipun BPOM telah menetapkan batas maksimal 125 ppm untuk natrium nitrit dalam daging olahan, pada kenyataannya tidak semua produsen mematuhi peraturan ini. Banyak produk dari industri kecil dan menengah beredar tanpa pengawasan yang ketat, dan beberapa di antaranya bahkan tidak secara transparan mencantumkan komposisi bahan tambahan yang digunakan. Hal ini menimbulkan risiko yang signifikan, terutama bagi konsumen yang secara rutin mengonsumsi produk-produk tersebut tanpa menyadari tingkat aditif yang terkandung di dalamnya.Pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan dengan menetapkan mekanisme inspeksi rutin di lokasi produksi, terutama bagi UMKM yang beroperasi di sektor daging olahan. Pengawasan harus didukung oleh uji laboratorium independen terhadap produk yang beredar di pasaran, termasuk yang dijual secara online dan di supermarket. Hasil pengujian ini harus diumumkan secara publik agar konsumen dapat mengidentifikasi produk mana yang aman dan mana yang melanggar peraturan. Hal ini juga berfungsi sebagai tekanan moral bagi produsen untuk lebih bertanggung jawab. Selain itu, sanksi yang ketat dan progresif, seperti pencabutan izin distribusi atau denda, harus dikenakan pada pelanggar, sementara insentif harus diberikan kepada produsen yang mulai beralih ke pengawet alami. Dengan demikian, peraturan tidak hanya bersifat administratif tetapi juga memiliki dampak nyata di lapangan.

2. Label Nutrisi Informatif dan Peringatan Kesehatan

Label kemasan makanan merupakan salah satu sarana utama komunikasi antara produsen dan konsumen. Sayangnya, banyak konsumen di Indonesia tidak membaca label dengan teliti, atau bahkan memahami istilah teknis yang tercantum. Penggunaan kode seperti E250 untuk natrium nitrit, misalnya, tidak langsung memberitahu masyarakat tentang bahayanya. Oleh karena itu, label nutrisi harus ditingkatkan tidak hanya dari segi hukum tetapi juga dalam hal keterbacaan dan nilai edukatif.Solusi yang dapat diterapkan termasuk mewajibkan produsen untuk secara jelas mencantumkan jumlah natrium nitrit (dalam mg/kg), bukan hanya menyebutnya sebagai pengawet. Selain itu, produk yang mengandung tingkat nitrit mendekati batas maksimum harus disertai dengan label peringatan kesehatan, serupa dengan yang terdapat pada kemasan rokok, yang menyatakan: Konsumsi berlebihan produk ini dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal Negara-negara seperti Prancis dan Inggris telah mulai menerapkan model ini, yang terbukti meningkatkan kesadaran konsumen.Selain itu, Indonesia dapat mengadopsi label warna-warni nutrisi (label lampu lalu lintas) yang menunjukkan tingkat zat seperti garam, lemak jenuh, dan pengawet berbahaya menggunakan kode warna: hijau (aman), kuning (hati-hati), dan merah (tinggi). Dengan desain yang sederhana, informasi ini lebih mudah dipahami dan dapat memengaruhi keputusan konsumen saat berbelanja. Label yang baik tidak hanya mematuhi peraturan tetapi juga mendidik dan melindungi masyarakat.

3. Pengembangan Bahan Pengawet Alami dan Inovasi Industri Pangan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun