Bayangkan jika setiap pejabat mengingat bahwa gaji dan fasilitasnya dibayar oleh seorang ibu penjual gorengan di pinggir jalan. Apakah mereka masih tega mempersulit izin atau bermain-main dengan anggaran?
Bayangkan jika setiap mahasiswa sadar, bahwa uang kuliah murah di PTN negeri adalah hasil gotong royong rakyat Indonesia. Apakah mereka masih akan malas belajar atau sekadar mengejar ijazah tanpa niat mengabdi?
Pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya cukup untuk membuat kita lebih rendah hati.
Dari Retorika ke Tindakan
Kalimat "membayar utang kepada rakyat" jangan berhenti di panggung pidato atau tulisan opini seperti ini. Ia harus menjadi pengingat sehari-hari.
Kita memang tidak akan pernah bisa benar-benar "melunasi" utang itu. Tapi justru di situlah indahnya: utang ini mengikat kita pada rakyat, agar kita tidak pernah berhenti belajar, tidak pernah berhenti bekerja, dan tidak pernah berhenti berpihak.
Pada akhirnya, utang ini bukan beban, tapi kompas moral. Ia mengingatkan kita ke arah mana langkah harus diayunkan.
Dan selama kompas itu masih kita pegang, masih ada harapan bahwa ilmu, kebijakan, dan tenaga kita tidak sia-sia. Karena semuanya kembali kepada mereka yang paling berhak: rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI