Setelah berkesempatan mengikuti konferensi nasional komunikasi pembangunan di Kampus Untirta, Serang Banten tadi pagi (25/9), ada satu kalimat dari salah seorang narasumbenya yang belakangan terus terngiang di kepala saya: "Saatnya membayar utang kepada rakyat yang telah membiayai kita."
Kalimat ini sederhana, tapi isinya bisa bikin siapa pun, terutama kita yang bekerja di pemerintahan atau akademisi, berhenti sejenak dan merenung.
Selama ini, kita sering berbicara soal hak rakyat. Hak atas pendidikan, kesehatan, layanan publik, infrastruktur, sampai kesejahteraan. Tapi jarang sekali kita menempatkan diri secara jujur: bahwa ada utang besar yang melekat pada pundak kita. Utang kepada rakyat yang setiap hari bekerja, membayar pajak, dan dengan itu membiayai negara, termasuk membiayai hidup dan karier kita.
Pendidikan Tinggi: Disubsidi Rakyat, untuk Siapa?
Mari kita bicara soal pendidikan tinggi. Banyak di antara kita yang pernah kuliah di perguruan tinggi negeri, atau bahkan menikmati beasiswa pemerintah. Semua itu bukan cuma "kebaikan negara", tapi hasil dari uang rakyat yang dikumpulkan lewat pajak dan APBN.
Artinya, setiap gelar sarjana, master, atau doktor yang kita sandang, sesungguhnya bukan sekadar pencapaian pribadi. Itu adalah titipan rakyat. Dan seperti semua titipan, ia harus dikembalikan. Bukan dalam bentuk uang, melainkan dalam wujud kerja jujur, ilmu yang bermanfaat, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Sayangnya, sering kali ada jarak. Ilmu tinggi hanya berputar di menara gading. Kajian akademik berhenti di rak perpustakaan, tak pernah turun ke desa, tak pernah menyentuh kebutuhan paling dasar masyarakat.
Padahal, di sanalah letak utang terbesar itu: bagaimana memastikan ilmu yang dibiayai rakyat bisa kembali untuk rakyat.
Belajar dari Kearifan Lokal Baduy
Banten punya contoh menarik lewat masyarakat Baduy. Mereka termasuk dalam Komunitas Adat Terpencil (KAT). Secara administratif, negara menempatkan mereka dalam kategori yang rawan keterbatasan layanan dasar.
Namun, menariknya: masyarakat Baduy sudah sejahtera dengan standar dan cara mereka sendiri.