Mohon tunggu...
Ika Kartika
Ika Kartika Mohon Tunggu... Communicating Life

PNS yang percaya bahwa literasi bukan cuma soal bisa baca, tapi soal mau paham. Kadang menulis serius, kadang agak nyeleneh. Yang penting: ada insight, disampaikan dengan cara yang asik, dan selalu dari kacamata ilmu komunikasi—karena di situlah saya belajar dan bekerja. Seperti kata pepatah (yang mungkin baru saja ditemukan): kalau hidup sudah terlalu birokratis, tulisan harus tetap punya nyawa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Membayar Utang kepada Rakyat

25 September 2025   13:53 Diperbarui: 25 September 2025   13:53 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Setelah berkesempatan mengikuti konferensi nasional komunikasi pembangunan di Kampus Untirta, Serang Banten tadi pagi (25/9), ada satu kalimat dari salah seorang narasumbenya yang belakangan terus terngiang di kepala saya: "Saatnya membayar utang kepada rakyat yang telah membiayai kita."

Kalimat ini sederhana, tapi isinya bisa bikin siapa pun, terutama kita yang bekerja di pemerintahan atau akademisi, berhenti sejenak dan merenung.

Selama ini, kita sering berbicara soal hak rakyat. Hak atas pendidikan, kesehatan, layanan publik, infrastruktur, sampai kesejahteraan. Tapi jarang sekali kita menempatkan diri secara jujur: bahwa ada utang besar yang melekat pada pundak kita. Utang kepada rakyat yang setiap hari bekerja, membayar pajak, dan dengan itu membiayai negara, termasuk membiayai hidup dan karier kita.

Pendidikan Tinggi: Disubsidi Rakyat, untuk Siapa?

Mari kita bicara soal pendidikan tinggi. Banyak di antara kita yang pernah kuliah di perguruan tinggi negeri, atau bahkan menikmati beasiswa pemerintah. Semua itu bukan cuma "kebaikan negara", tapi hasil dari uang rakyat yang dikumpulkan lewat pajak dan APBN.

Artinya, setiap gelar sarjana, master, atau doktor yang kita sandang, sesungguhnya bukan sekadar pencapaian pribadi. Itu adalah titipan rakyat. Dan seperti semua titipan, ia harus dikembalikan. Bukan dalam bentuk uang, melainkan dalam wujud kerja jujur, ilmu yang bermanfaat, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat.

Sayangnya, sering kali ada jarak. Ilmu tinggi hanya berputar di menara gading. Kajian akademik berhenti di rak perpustakaan, tak pernah turun ke desa, tak pernah menyentuh kebutuhan paling dasar masyarakat.

Padahal, di sanalah letak utang terbesar itu: bagaimana memastikan ilmu yang dibiayai rakyat bisa kembali untuk rakyat.

Belajar dari Kearifan Lokal Baduy

Banten punya contoh menarik lewat masyarakat Baduy. Mereka termasuk dalam Komunitas Adat Terpencil (KAT). Secara administratif, negara menempatkan mereka dalam kategori yang rawan keterbatasan layanan dasar.

Namun, menariknya: masyarakat Baduy sudah sejahtera dengan standar dan cara mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun