Beberapa waktu lalu lini masa ASN di daerah kami kembali diramaikan dengan panggilan asesmen. Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya ajang evaluasi diri, selain sebenarnya, hal ini katanya (seharusnya) rutinitas tiga tahunan yang diatur undang-undang. Namun bagi yang sedang berharap (atau cemas) naik jabatan, asesmen bisa jadi ajang penuh harap sekaligus was-was. Ibarat cermin besar yang dipasang di tengah kantor, kita dipersilakan bercermin seobjektif mungkin. Apakah kita memang punya kapasitas untuk naik jabatan? Atau sebaiknya mulai belajar legawa?
Apa Itu Asesmen ASN dan Aspek Penilaiannya?
Dalam kerangka Manajemen Talenta ASN sebagaimana diatur dalam PP Manajemen PNS dan Permen PANRB, asesmen adalah alat ukur yang digunakan untuk menilai kompetensi dan potensi ASN. Tujuannya bukan sekadar tahu nilai, tapi untuk mengidentifikasi siapa yang layak menduduki jabatan tertentu. Semua ini didasarkan pada standar yang baku dan terukur.
Menurut Perka BKN Nomor 23 Tahun 2011, aspek-aspek yang dinilai meliputi kompetensi:
- Manajerial: kemampuan membuat keputusan, berpikir strategis, dan memimpin tim.
- Sosial-Kultural: adaptasi terhadap budaya organisasi, komunikasi dan kolaborasi.
- Teknis sesuai jabatan yang dilamar (misal: perencanaan, keuangan).
- Potensi: kapasitas berkembang dan belajar dalam peran baru
Metode penilaiannya bisa berupa tes tertulis, wawancara, studi kasus berbasis komputer, dan observasi perilaku dalam Assessment Center. Proses ini bertujuan menjamin objektivitas, transparansi, independensi, adil, dan akuntabel
Pimpinan daerah saat ini tentu saja menyatakan pada publik bahwa penempatan jabatan, kini tidak lagi berdasarkan senioritas atau kedekatan, namun berdasarkan kualitas dan kapasitas individu. Sering disampaikan juga biasanya saat moment pembukaan asesmen tersebut bahwa asesmen yang dilakukan bukan sekadar formalitas, melainkan hasilnya akan menjadi dasar promosi, mutasi, pelatihan, dan perencanaan kerja jabatan.
Pernyataan itu terdengar menjanjikan. Namuni juga menantang. Karena kalau benar asesmen dijadikan dasar, maka siap-siap saja, hasilnya bisa membuat kita... ya, cukup tahu diri.
Naik Jabatan Bukan Naik Pangkat
Ini yang perlu diluruskan. Banyak ASN yang naik pangkat secara otomatis. Bahkan tanpa kinerja mentereng. Tapi naik jabatan? Lain cerita. Jabatan itu ruang kuasa, peran kepemimpinan, ruang pengaruh. Naik jabatan idealnya adalah hasil dari kinerja, kompetensi, dan... ya, hasil asesmen tadi.
Sayangnya, dalam praktik birokrasi kita, masih ada keyakinan lama: "yang penting dekat", "asal loyal", atau "bisa kompromi". Maka tak aneh kalau ada yang bertanya lirih: "Apakah yang terbaik yang naik jabatan... atau hanya yang paling dekat meja kekuasaan?"
Asesmen: Cermin atau Formalitas?