Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pertunjukan Terakhir Seorang Bissu

6 Desember 2020   10:14 Diperbarui: 6 Desember 2020   10:20 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Seniman tradisi adalah primadona  yang sesungguhnya terpuruk".

Kalimat itu diucapkan oleh Pajja, salah seorang Bissu di  Pangkep, Sulawesi-Selatan, yang selama ini sering tampil dengan tari Sere Bissu dan  tari maggirik (tarian sambil menusuk tubuh dengan keris)  di panggung pertunjukan. Saya sungguh terkesan sekaligus miris mendengar  ungkapan itu. Ternyata ada kesenjangan yang menganga antara dunia yang mempertunjukkan mereka diatas panggung yang wah, pencahayaan yang canggih dan kostum yang mahal dengan realitas kehidupan mereka sehari-hari.

Sebagai catatan, Bissu ini adalah salah satu ahli spritual Bugis yang dianggap mewarisi kepercayaan dan tradisi Bugis Kuno (tradisi La Galigo). Dalam lima gender yang dikenal di Bugis, Bissu adalah gender kelima, selain Uruwane (laki-laki), makkunrai (perempuan), calabai (waria) dan calalai (laki-laki perempuan).

Bissu, seperti yang juga disebut oleh Sharyn Graham merupakan meta-gender. Ia menghimpun keempat gender sebelumnya. Dalam kenyataannya yang menjadi Bissu memang ada perempuan dan pernah ada laki-laki. Kendati demikian yang dominan adalah para calabai. 

Puang Matoa Saidi (almarhum) menegaskan identitas Bissu ini dengan mengatakan  "Urane majjiwa makkunrai, tengurane toi temmakunrai toi" (laki-laki yang berjiwa perempuan, tapi bukan laki-laki juga bukan perempuan). Matthes menganggap Bissu ini sebagai orang suci yang akar katanya dari 'bessi' (suci).  Kalis, bersih atau suci, demikian Bissu disebut, karena mereka tidak haid dan  tidak mengeluarkan darah kotor, meski jiwa dan tampilannya perempuan.

Kita kembali pada cerita di awal. Ketika ungkapan Pajja itu terlontar, beberapa orang Bissu sedang pentas La Galigo keliling dunia pada 2003. Di titimangsa yang sama, Pajja bersama seorang teman laki-lakinya, sedang bermandi keringat, terbungkuk-bungkuk memanggul karung-karung yang berisi padi yang baru saja di panen. Pajja saat itu menjadi buruh angkat padi. Menjelang sore, di rumah kecilnya yang beratap rumbia di pinggiran hutan, tampak seikat padi, yang ternyata adalah upahnya mengangkut padi dari pagi hingga sore.

"Apakah 'kita' (Anda) tidak ikut pertunjukan keliling dunia juga, dari sana kan bisa mendapatkan sumber pendapatan." Tanya saya ketika itu.

"Beberapa waktu yang lalu saya sempat tampil maggirik di panggung untuk sebuah pertunjukan. Itulah pertunjukan saya yang terakhir di panggung. Saya tidak mau lagi tampil menari di panggung pertunjukan, kalau di acara ritual mungkin masih mau." Jawabnya kala itu.

Alasan Pajja meninggalkan panggung pertunjukan karena ternyata di tempat itu, tidak hanya tarian, Bissu pun sejatinya telah dikomodifikasi. Tarian ritual dan tubuh para Bissu telah menjadi komoditas. Dalam proses komodifikasi itu, Pajja merasa lebih banyak dirugikan, yang untung adalah orang-orang luar.

Dalam proses selanjutnya, dunia pertunjukan itu akhirnya menciptakan persaingan di internal para Bissu sendiri. Mereka bersaing agar memiliki otoritas tampil di panggung pertunjukkan. Budaya hidup bersama sebagai satu komunitas tanpa disadari runtuh sedikit demi sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun