Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pertunjukan Terakhir Seorang Bissu

6 Desember 2020   10:14 Diperbarui: 6 Desember 2020   10:20 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panggung pertunjukan itu mungkin melahirkan decak kagum di seantero jagat. Mungkin juga membuat pundi-pundi uang kalangan tertentu makin membengkak. Tetapi di komunitas seniman (komunitas lokal) hanya melahirkan nestapa akibat konflik di internal mereka.    

Tekanan ekonomi tersebut ternyata mendera komunitas Bissu hingga kini.  Panggung pertunjukan yang telah memecah-mecah komunitas ini menjadi kelompok bahkan menjadikannya persaingan individu, akhirnya membuat beberapa sosok Bissu terlempar dari persaingan.

Yang bisa bertahan, mungkin, adalah mereka yang bisa memanfaatkan proses komodifikasi tersebut. Mereka ini akhirnya mengembangkan berbagai usaha atas nama kebissuannya; bikin sanggar tari, punya salon, jadi even organizer atau setidaknya mengembangkan usaha indo botting (perias pengantin). Tetapi berbagai usaha tersebut tidak lagi atas nama komunitas, melainkan individu atau paling banter genk calabai (waria) atau Bissu tertentu.

Bagaimana dengan para Bissu semacam Pajja, Uwa matang dan  lainnya yang tidak bisa masuk dalam persaingan ekonomi semacam itu? Mereka inilah yang dihantui kemiskinan hingga hari ini. Para Bissu yang tidak masuk dalam jajaran elit dan justru adalah kelompok mayoritas, tergolong mereka-mereka-lah yang dihantui kemiskinan.

Para Bissu yang terakhir ini, akhirnya banyak bergantung pada kerja upahan seperti yang dilakukan oleh Pajja. Ia menjadi semacam tenaga kerja upahan (wage labor) di sawah-sawah dan kebun milik orang lain. Sebelumnya memang dikenal ada semacam sawah adat tempat makan para Bissu. Dari sanalah mereka bertanam padi dengan dibantu oleh para to boto (lelaki pendamping Bissu). Tetapi sayangnya sawah-sawah adat itu telah diprivatisasi. Menjadi miliki individu dari orang-orang tertentu.

Bagi para Bissu yang tidak punya cukup tenaga untuk menjadi tenaga upahan, satu-satunya harapan mereka adalah pada perlindungan sosial dari pemerintah (negara). Sayangnya para Bissu ini sering kali luput dari jaringan pengaman sosial negara tersebut.  Boleh jadi, seperti kata Tania Murray Li (2014), kelompok semacam Bissu ini bukanlah ancaman bagi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik dan karenanya pemerintah dapat mengabaikan tanpa takut akan konsekuensi yang ditimbulkan.

Probem kemiskinan yang mendera komunitas lokal atau seniman semacam Bissu ini kadang luput dari pantauan tidak hanya negara, tetapi juga pengamat sosial. Soalnya secara kasat mata, di tengah-tengah mereka, misalnya, tidak sedang terjadi perampasan alat produksi oleh satu perusahaan atau pun pemerintah. Tidak juga terjadi meminjam istilah Murray Li 'akumulasi primitif' ala Marx. Tetapi diam-diam mereka telah dipecah-pecah menjadi individu-individu yang bersaing dalam memperebutkan pasar.

Persaingan memperebutkan pasar itu, akhirnya melahirkan satu sistem kapitalis tersendiri di tengah-tengah mereka. Yang tidak sanggup bertarung di dalamnya, tersingkir dan jadi Bissu-Bissu yang miskin.  Apakah ini mirip dengan yang disebut oleh Murray Li dengan capitalism from below (kapitalisme dari bawah)?

Saya kira penelitian Murray Li  di masyarakat petani Laudje di dataran tinggi Sulawesi Tengah, memang menunjukkan, kapitalisme tidak selamanya muncul di satu tempat karena hadirnya satu perusahaan di tempat tersebut yang  membentuk hubungan-hubungan baru dalam perekonomian. Kapitalisme bisa muncul sendiri di masyarakat akibat dari cara mereka merespons pasar. Inilah yang disebutnya tadi, kapitalisme dari bawah.

Merujuk pada Robert Brenner ada dua cara masyarakat atau komunitas merespons pasar. Pertama pasar dilihat sebagai pilihan dan kesempatan (market as opportunity) dan yang kedua pasar mau tidak mau (dipaksa) harus diterima (market as an compulsion).

Dalam kasus Bissu, dua hal ini terjadi. Pada awalnya mereka harus menerima pasar karena terpaksa. Sebelumnya para Bissu tidak mengenal komodifikasi tradisi dan komodifikasi berbagai tarian ritual. Mereka melakukan hal tersebut semata-mata karena kepentingan ritual adat dan kebutuhan masyarakat. Makan, minum dan seluruh hajat hidup mereka dipenuhi oleh pengurus adat di tingkat lokal atau jemaahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun