Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penyembahan dan Kemusyrikan

19 Oktober 2018   20:50 Diperbarui: 12 November 2018   11:17 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang kawan yang pernah kuliah di luar negeri bercerita. Suatu saat, Ia melaksanakan salat di salah satu ruangan di kampusnya. Karena ruangan tersebut bukan Musallah, maka banyak orang yang lalu lalang.  Agar orang lain tidak  mondar-mandir di depannya, Ia merasa perlu memberi penanda. Celangak-celinguk mencari, tak ada, kecuali sebongkah batu. Jadilah batu tersebut diletakkan di hadapannya sebagai penanda. Salat berlangsung lancar, aman dan sentosa karena tidak ada orang yang hilir mudik di depannya sampai salat usai digelar.

Salah seorang teman kuliahnya ternyata memperhatikan Ia salat, termasuk ketika ia meletakkan batu di depannya . Temannya ini berasal dari Barat dan bukan pemeluk agama Islam. Yang membuatnya terperangah adalah pertanyaan temannya itu;

"Apakah kamu penyembah berhala?"

Ia terdiam sejurus menetralisir keterkejutannya. Setelah rasa kagetnya hilang, Ia pun bertanya kepada temannya yang orang Barat itu mengapa Ia dianggap menyembah berhala. Temannya ini pun lantas menjelaskan perasaan herannya dengan praktik salat yang dilakukan, termasuk menyusun batu di depannya. Cara itu dianggapnya sebagai penyembahan berhala. Teman saya itu tergelak, lantas kemudian menjelaskan apa yang dilakukannya.   Setelah semuanya jelas, keduanya pun berderai-derai bareng-bareng. Tentu saja mereka berdua merasa lucu dengan peristiwa tersebut.

Mungkin teman saya itu hanya sekedar memberi penanda agar tidak terganggu salatnya, tetapi sejatinya hampir semua agama membutuhkan simbol-simbol atau tanda tertentu agar pemeluknya bisa merasakan kehadiran Tuhan yang disembahnya. Simbol itu tentu bukan Tuhan, tapi hanya melalui itu para umat beragama bisa meraba dan mendekatkan Tuhan dalam alam pikiran dan rasa mereka. Tuhan yang Maha segalanya dan meliputi segenap mayapada tentu tak terjangkau oleh alam pikiran bahkan rasa manusia biasa, simbol mendekatkan mereka. Maka dalam Islam dikenal Allah, dalam Kristen ada Tuhan Bapak, Yehuwa, To ri Akra'na di Kajang, Dewwata Sewwae di Bugis dan seterusnya.

Dalam ritual ibadah pun mereka membutuhkan simbol. Orang Islam menjadikan Kabah tempat menghadap. Yahudi membutuhkan tembok ratapan di Yerussalem untuk memuja. Kristen memerlukan tanda salib atau patung Yesus di altar peribadatannya, Budha menghajatkan patung Budha untuk berkhidmat dst. Komunitas lokal pun demikian, mereka butuh simbol tertentu dalam altar ibadahnya. Boleh jadi simbol itu berupa batu, pohon atau simbol lainnya. 

Apakah mereka sedang melakukan kemusyrikan atau sedang menyembah berhala? Tentu tidak, kalau memandangnya dari kaca mata masing-masing penganutnya, tapi sangat mungkin disalahpahami oleh penganut agama lain. Di sinilah pentingnya untuk memahami ritual yang mereka lakukan dari sudut pandang penganut agama bersangkutan.

Sejauh kaki saya melangkah di komunitas lokal atau adat, saya memang sering menemukan ritual di seputar tempat-tempat tertentu, misalnya di dekat batu, di hadapan pohon atau di seputar kuburan. Tapi semua satu suara, mereka tidak memuja batu, menyembah pohon ataupun mendewakan kuburan tersebut. Sama halnya tentu orang Islam pun tidak berhikmat pada kabah, Kristen tidak menyembah salib atau Yahudi tidak sedang memuja tembok ratapan.

Ada yang bertanya; "Mereka kan Islam, mengapa simbol dalam altar pemujaannya berbeda ?"  

"Mungkin karena Kabah sebagai simbol itu masih jauh pula dari jangkauannya." Begitu saya jawab.

"Bukankah itu bisa membuat noda dalam sistem keagamaan kita ?" Tanyanya lebih lanjut tak mau kalah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun