Mohon tunggu...
Iin Nabila
Iin Nabila Mohon Tunggu... mahasiswa

sebaik-baiknya ingatan adalah tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sejak Nama Itu Hadir

10 Januari 2025   16:36 Diperbarui: 10 Januari 2025   19:19 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agatha. Nama yang dulu hanya sekadar nama, kini berubah menjadi segalanya. Aneh, bukan? Bagaimana satu nama bisa mengubah cara Alena melihat dunia. Dulu, nama itu hanya sebuah suara di antara ratusan suara lainnya. Biasa saja. Tak ada yang istimewa. Tapi sekarang? Nama itu seolah punya gravitasi sendiri, menarik setiap pikirannya ke satu arah yang sama. Setiap kali namanya disebut, ada getaran kecil yang muncul di dadanya. Alena tak pernah membayangkan akan ada hari di mana ia akan mengingat nama itu dengan senyum, dengan rindu yang tak bisa dijelaskan. Nama itu kini melekat di pikirannya, seperti lagu yang terus-menerus diputar tanpa henti. Tak perlu diperintah, tak perlu dipaksa. Nama itu hadir begitu saja, kadang di pagi hari saat ia menyesap teh, kadang di malam hari saat ia memandangi langit tanpa alasan. Nama itu bukan lagi sekadar nama. Itu adalah kisah. Kisah tentang seseorang yang awalnya hanya siluet, lalu perlahan menjadi tokoh utama dalam hidupnya.


Setiap pertemuan dengan Agatha, tak peduli betapa singkatnya, selalu menyisakan kesan yang dalam. Bukan karena kata-kata yang mereka ucapkan, tetapi karena cara mereka bisa berbicara tanpa banyak berkata-kata. Agatha membuat Alena merasa nyaman dengan kehadirannya yang sederhana. Dalam setiap obrolan, dalam setiap tawa, Alena merasa dunia menjadi lebih ringan, lebih mudah dijalani. Agatha tidak pernah memaksakan diri, tidak pernah menuntut lebih, tetapi ia selalu ada menjadi tempat yang bisa Alena tuju saat rindu datang, atau saat ia merasa lelah dengan dunia. Semua itu seperti melodi yang terdengar samar di kejauhan, namun semakin dekat, semakin jelas. Mungkin memang begitu cara cinta bekerja ia datang perlahan, seperti angin yang tak terlihat, namun bisa dirasakan setiap saat. Dulu, Alena tidak pernah membayangkan bisa merasa begitu dekat dengan seseorang yang awalnya tidak pernah ia bayangkan.


Kadang Alena merasa, mungkin hidup itu memang tentang menemukan orang-orang yang tanpa sadar menulis cerita dalam hatimu. Agatha adalah kisah yang ditulis tanpa rencana, tanpa tuntutan, namun begitu sempurna. Seperti sebuah puisi yang mengalir, sederhana namun penuh makna. Dulu, Alena selalu percaya bahwa cinta itu datang dengan gemuruh dan percikan api yang membara. Tapi bersama Agatha, ia sadar bahwa cinta itu datang dengan cara yang lebih tenang. Seperti hujan yang jatuh perlahan, menyejukkan, dan meninggalkan jejak yang tak terhapuskan.

Maret 2022 lalu...


Setelah liburan panjang, Alena dan sepupunya sedang berada di terminal. Mereka mengantar paman Alena yang akan kembali ke kota untuk melanjutkan pekerjaannya. Terminal itu cukup ramai, dan di tengah keramaian, Alena melihat seorang pemuda yang sedang menunggu transportasi menuju kota tempat kuliahnya.
Alena sempat melirik pria itu sejenak, namun ia tidak terlalu memperhatikannya. Sosok itu tampak asing bagi Alena. Meskipun ia mendengar sepupunya berbincang akrab dengan pria tersebut, Alena hanya mengenal orangtua pria itu lebih tepatnya, mereka sering bertemu di berbagai acara. Namun, Alena sendiri tidak pernah berinteraksi langsung dengan pria tersebut.


Sepupunya tampak asyik mengobrol, sementara Alena hanya menyapa sekilas. Tidak ada percakapan lebih dalam di antara mereka, karena Alena lebih fokus pada paman mereka yang harus segera berangkat. Ia hanya menganggap pertemuan itu sebagai kebetulan, sebuah momen singkat yang berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kesan yang berarti.


Namun, tak lama setelah itu, pria itu mengajak Alena mengobrol. "Eh, kamu kelas berapa sekarang?" tanyanya dengan santai. Alena sedikit terkejut, karena ia tidak menyangka pria itu akan mengajaknya berbicara. "Oh, saya...masih SMA, tahun depan mau masuk kuliah" jawab Alena, sedikit ragu.
Pria itu tersenyum dan melanjutkan, "Kalau boleh tahu, kamu mau kuliah di mana nanti?" Alena menggeleng pelan, merasa bingung. "Sebenernya belum ada rencana sih, masih mikir-mikir," jawab Lia jujur.
Tanpa merasa canggung, pria itu memberi beberapa saran. "Kalau kamu bingung, bisa coba di Jawa, ada beberapa kampus yang bagus". Alena mendengarkan dengan seksama, meskipun ia tidak terlalu tahu banyak tentang itu.
Paman Alena akhirnya pergi, dan mereka pun meninggalkan terminal setelah mengantarnya. Alena merasa pertemuan itu sudah terlupakan sebuah kebetulan semata. Ia tidak pernah menyangka bahwa beberapa waktu kemudian, pemuda yang ditemuinya di terminal itu akan kembali muncul dalam hidupnya dengan cara yang tak terduga.

Juni 2023...


Suatu hari, di tengah rutinitas yang terasa monoton, sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya. 'Agatha mulai mengikuti Anda,' tulisnya, dengan gambar profil yang tidak dikenalnya. Alena mengernyitkan dahi. Siapa dia? Mengapa tiba-tiba mengikuti akun Instagramnya? Sebelum ia sempat melanjutkan berpikir, notifikasi DM pun muncul, dari orang yang sama. 'Assalamualaikum,' tulisnya singkat. Alena memandangi layar ponselnya sejenak. Pikirannya berkelana, merasa sedikit bingung dengan kejadian yang begitu tiba-tiba ini. Namun rasa penasaran segera mengalahkan kebingungannya. Ia membuka pesan itu perlahan, tak tahu bahwa ini akan menjadi awal dari percakapan yang mengubah banyak hal.

screenshot chat
screenshot chat

Alena memandangi layar ponselnya sejenak. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya, meskipun ia tak tahu kenapa. Pesan singkat dari Agatha terasa begitu ringan, namun entah kenapa, ada sesuatu yang berbeda. Mungkin karena obrolan ini begitu alami, tanpa pretensi, tanpa beban. 

"Ada foto yang dikirim sama ayah kamu?" tanya Alena, mencoba membuka percakapan lebih lanjut.

Alena teringat saat ia bertemu dengan orangtua Agatha di sebuah acara beberapa waktu lalu. Meskipun pertemuan itu singkat, orangtua Agatha sempat berkata bahwa mereka akan mengirimkan foto yang diambil bersama Alena ke Agatha. Mereka bahkan sering menyebut-nyebut nama Alena bersama Agahta, meskipun Alena merasa canggung, karena ia sendiri belum terlalu mengenal Agatha. Mereka memang satu kota, tetapi Alena tidak begitu tahu tentang Agatha.

Agatha membalas dengan cepat, "Oh, foto waktu acara kemarin ya? Ayah belum mengiriminya. Ayah sering banget cerita soal kamu."

Alena tersenyum kecil membaca pesan itu. Meskipun ia merasa sedikit kikuk dengan segala pembicaraan tentang dirinya yang datang dari orangtua Agatha, ia memilih untuk tetap santai. Mereka memang satu kota, tapi mereka baru saling kenal sedikit. Namun, entah kenapa, obrolan ini mulai terasa tidak sepenuhnya biasa saja.

Agatha melanjutkan obrolan "semoga nggak ganggu ya, orangtuaku memang suka mengangguku, ia sering sekali menceritakan tentangmu, ia bilang kamu cantik dan kalo cari pacar harus seperti kamu, wkwk" 

Alena terkikik ringan, mencoba tidak terlalu terbawa suasana, tapi didalam hatinya, ada rasa hangat yang muncul. Pujian yang datang dari orangtua Agatha membuatnya merasa dihargai, meskipun ia tahu ini baru awal dari segala hal yang tak terduga. Rasanya, ada sesuatu yang tidak biasa dalam obrolan ini sesuatu yang membuatnya merasa lebih diperhatikan daripada yang ia duga sebelumnya. Ia bukan tipe orang yang mudah merasa canggung atau terkesan dengan pujian, tetapi kata-kata itu, yang datang dari orang yang tak terlalu dikenalnya, sedikit membuat hatinya berdebar. Meski ia berusaha untuk tetap santai dan tidak terlalu memikirkannya, ada semacam benih ketertarikan yang mulai tumbuh, meski Alena belum benar-benar bisa mengidentifikasinya. Ia tahu ini mungkin baru permulaan, dan masih terlalu dini untuk menilai apapun, tapi kata-kata orangtua Agatha yang terus mengisi pembicaraan mereka memberi kesan yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Setelah obrolan panjang tiba-tiba Agatha mengirim pesan "btw, boleh minta kontak WhatsApp nya?"

Alena tak berpikir panjang. Setelah membaca pesan Agatha, dia langsung membalas dengan santai, "Iya, ini nomor WhatsApp aku." Alena mengirimkan nomornya tanpa ada keraguan sedikit pun. Bagi Alena, ini bukanlah sesuatu yang besar. Ia hanya menganggap Agatha sebagai teman yang bisa ia ajak ngobrol ketika ada hal-hal seputar kuliah yang perlu dibicarakan.

Dia tidak berpikir lebih jauh mengenai pesan-pesan yang datang. Tidak ada niatan untuk memperumit sesuatu yang terkesan sederhana. Baginya, obrolan ini masih sebatas saling mengenal sama seperti halnya ia berinteraksi dengan teman-teman lainnya. Alena tahu bahwa sebagai sesama mahasiswa yang satu kampus, mereka pasti akan sering berinteraksi. Jadi, memberikan nomor whatsapp adalah hal yang wajar untuk mempermudah komunikasi jika suatu saat dibutuhkan.

Tak lama setelah Alena mengirimkan nomor, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari WhatsApp, dan Alena melihat nama "Agatha" muncul di layar.

"Halo, ini Agatha," tulisnya di pesan pertama.

Alena tersenyum membaca pesan itu. Ternyata Agatha langsung menghubunginya lewat WhatsApp untuk memastikan mereka sudah saling terhubung. Tanpa berpikir panjang, Alena segera menyimpan nomor Agatha di ponselnya.

"Oh, oke!" balas Alena.

Malam itu, ponsel Alena bergetar di atas meja belajarnya. Notifikasi WhatsApp muncul, dan di sana terpampang nama yang baru beberapa jam lalu menyapanya, Agatha. Ada debar halus di dadanya, meski ia berusaha mengabaikannya.

"Tertekan bangat wkwk." tulis Agatha, membalas story Alena yang memperlihatkan momen saat ia berdiri di sisi panggung menemani partnernya yang sedang bernyanyi di acara pernikahan. Story itu ia unggah tak lama setelah acara selesai, lengkap dengan tag ke akun ayah Agatha, karena ayahnyalah yang meminta mereka bernyanyi. Alena sempat tertegun. Bukan karena pesannya, tapi karena orang yang mengirimnya.

Tak lama setelah itu, notifikasi baru muncul. Kali ini Agatha meminta foto Alena bersama ayahnya yang pernah mereka bahas waktu lalu. Alena sangat malu dan rasa ragu itu muncul. Ia menghela napas pelan sambil memperhatikan wajahnya sendiri di foto itu. "Ih, jelek banget," gumamnya dalam hati. Jarinya sempat terhenti di tombol kirim. Ada perasaan malu yang tiba-tiba datang, membuatnya bimbang. Apa harus dikirim? Tapi, setelah berpikir sejenak, ia mengingat bahwa ini hanya soal foto biasa. Lagipula, Agatha yang memintanya lebih dulu. "Udahlah, nggak usah dipikirin," katanya pada dirinya sendiri. Dengan setengah ragu, ia menekan tombol kirim. Notifikasi "Terkirim..." muncul di layarnya.

Ada rasa lega, tapi juga canggung yang menggelayuti pikirannya. Ia meletakkan ponsel di meja, berusaha tidak memikirkannya lebih jauh. Tapi tetap saja, pikirannya kembali ke satu hal: "Kenapa dia tiba-tiba minta foto itu, sih?"

Setelah Alena mengirimkan foto itu, hubungan mereka mulai terasa berbeda. Ada sesuatu yang lebih akrab, lebih ringan, meski tanpa perasaan yang harus diungkapkan dengan kata-kata. Mereka mulai mengobrol lebih sering, bahkan setiap hari. Awalnya hanya soal hal-hal kecil, seperti aktivitas sehari-hari, atau hal-hal lucu yang mereka temui di media sosial. Namun, seiring berjalannya waktu, obrolan mereka mulai mengalir dengan lebih alami.

Hari demi hari, tanpa terasa, mereka saling memberi kabar satu sama lain. "Baru bangun, ya?" Agatha mengirim pesan pertama pagi itu, tepat setelah Alena mengupdate statusnya di WhatsApp. "Kamu tidur cukup nggak semalam?" Alena membalas dengan cepat, tertawa kecil sebelum mengetik jawabannya. "Iya, cuma agak telat, sih. Tapi nggak apa-apa, yang penting bisa bangun pagi."

Mereka semakin sering berbagi tentang kegiatan mereka, bahkan hal-hal yang awalnya terasa sepele. Alena jadi tahu kalau Agatha punya rutinitas pagi yang sangat teratur, seperti olahraga ringan dan sarapan sehat. Agatha juga jadi tahu bahwa Alena sering kali suka begadang, tapi ia selalu berusaha untuk bangun lebih pagi agar bisa memulai hari dengan baik. Malam-malam, setelah semua kesibukan, mereka saling menyapa. Tidak ada yang terasa dipaksakan. Cuma kebiasaan baru yang mereka bangun bersama, memberi kabar setiap hari seakan sudah menjadi bagian dari rutinitas hidup mereka. Alena mulai menantikan pesan dari Agatha setiap pagi, dan Agatha pun merasa begitu, meskipun ia tidak mengatakannya. Mereka sama-sama tahu bahwa percakapan mereka bukan sekadar obrolan biasa. Ada kenyamanan yang tak tergantikan dalam setiap kata yang tertulis. Terkadang, mereka hanya saling mengirim pesan tanpa tujuan tertentu, hanya berbicara tentang hari yang baru atau sekadar mengingatkan untuk istirahat yang cukup.

Hari itu, sahabat Alena datang ke rumah seperti biasa, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Mereka duduk di ruang tamu, menikmati cemilan yang dibawa, dan mulai mengobrol ringan. Setelah beberapa obrolan ringan, sahabat Alena meletakkan cemilan dan menatapnya dengan serius. "Oke, ngomong-ngomong soal Agatha, gue penasaran deh, lo gimana sih sama dia?". Alena terdiam sejenak, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia merasa agak canggung, tapi akhirnya menjawab dengan jujur. "Gue... nggak tahu, sih. Setiap kali ngobrol sama dia, gue merasa nyaman aja, nggak pernah merasa terbebani. Padahal, kadang dia juga ngirim pesan panjang-panjang. Tapi rasanya gampang aja, ngerti nggak sih?" jawab Alena sambil merapikan rambutnya, mencoba menjelaskan perasaannya yang agak sulit dipahami. Sahabatnya menatap dengan penuh perhatian. "Jadi lo merasa nyaman ngobrol sama dia, tapi lo nggak mikir kalau ada rasa lain di balik itu?" Alena menggelengkan kepala pelan. "Gue nggak mikir soal itu, sih. Gue cuma merasa aneh aja, kenapa bisa sesenang itu ngobrol sama dia. Tapi... ya, nggak lebih dari itu, gue rasa". Alena mengalihkan pandangannya, sedikit berpikir. "Gue nggak tahu, mungkin gue hanya merasa nyaman aja. Mungkin itu karena kita sering ngobrol, jadi merasa lebih dekat. Tapi gue nggak mikir lebih jauh dari itu," jawab Alena, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sahabatnya tersenyum, meskipun masih terlihat penuh rasa ingin tahu. "Kadang, kenyamanan itu juga bisa berarti lebih, lho. Perasaan itu nggak selalu harus tumbuh dengan cepat, kan? Bisa aja mulai dari hal kecil, kayak ngobrol setiap hari, dan lama-lama jadi lebih penting."

Keesokan harinya, Agatha mengajak Alena mengobrol via telepon. Alena sempat terkejut, tapi juga merasa senang. Obrolan mereka dimulai dengan topik yang ringan, membahas buku-buku yang mereka suka baca. Agatha mengungkapkan betapa dia suka membaca buku filsafat dan politik. "Buku-buku tentang filsafat dan politik itu bikin aku mikir panjang. Mereka nggak cuma tentang ide, tapi lebih ke pandangan hidup yang bisa ngebuka mata," katanya, dengan suara penuh semangat. Sementara Alena lebih suka novel, apalagi yang bergenre fiksi dan petualangan. "Aku sih suka novel-novel yang seru" jawab Alena dengan antusias. 

Meskipun mereka berdua memiliki selera yang sangat berbeda, obrolan mereka tetap asyik dan menyenangkan. Waktu pun terasa cepat berlalu karena mereka sama-sama menikmati percakapan yang mengalir begitu mudah. Tiba-tiba, setelah beberapa lama, Agatha mulai membahas sebuah buku yang menurutnya menarik. "Aku pernah membaca salah satu buku yang ngomongin tentang cinta, loh". Setelah mengobrol panjang tentang buku itu Agatha tiba-tiba mengeluarkan satu kalimat yang membuat Alena terdiam, "manusia itu butuh kepastian". Kalimat itu membuatnya sedikit bingung, dan dia merasa seolah-olah ada makna yang lebih dalam dari kata-kata Agatha. Hatinya mulai berdebar, tapi dia mencoba menenangkan diri. "Maksudnya?" Tanya Alena, berusaha memastikan, meskipun dia sudah mulai paham apa yang Agatha coba sampaikan. Agatha tertawa kecil di ujung telepon, seolah mengetahui kebingungannya. "Masa nggak paham sih? Aku yakin kamu pasti paham. Kamu mau nggak?" katanya, nada suaranya sekarang terdengar sedikit lebih serius, lebih penuh harapan. Alena merasa pipinya memanas. Ia merasa canggung dan tersipu, bingung antara ingin mengonfirmasi atau takut salah paham. "Maksudnya... maksudnya gimana, Agatha, kamu serius? Aku... nggak tahu harus bilang apa". Agatha tetap tenang, meski nada suaranya semakin terdengar penuh keyakinan. "Kamu mau apa enggak, Alena? Ya atau tidak, cuma itu aja," ujarnya dengan santai, seolah memberi Alena kesempatan untuk memutuskan. Alena terdiam beberapa detik, menimbang kata-kata yang keluar dari mulut Agatha. Dia merasa gugup, namun entah kenapa ada perasaan hangat di dadanya, seperti ada sesuatu yang tak bisa diabaikan. Dia menarik napas panjang dan akhirnya mengumpulkan keberanian. "Ya... aku mau," jawabnya dengan suara pelan namun tegas. Di ujung telepon, Agatha diam sejenak, sebelum akhirnya mengucapkan sesuatu yang penuh kebahagiaan. "Terima kasih, Alena. Aku senang kamu bilang begitu." Alena hanya bisa tersenyum malu, meskipun hatinya berdebar hebat. Mereka berdua terdiam sejenak, merasakan keheningan yang penuh arti, sebelum melanjutkan obrolan mereka, kali ini dengan perasaan yang jauh lebih dalam dari sebelumnya. 

Setelah tujuh hari saling mengobrol, tepat pada hari kedelapan, 20 Juni 2023, Agatha dan Alena resmi berpacaran. Siapa sangka, Agatha nama yang sama sekali tak pernah Alena bayangkan sebelumnya, bahkan orang yang ia tak kenal sama sekali, dan hanya bertemu sekali di terminal sebelum Agatha berangkat ke kota lain untuk melanjutkan kuliahnya, "ya benar pria itu Agatha" pria itu menjadi sosok yang kini begitu dekat dengannya. Hubungan yang tumbuh begitu cepat ini, meskipun dimulai dari pertemuan yang tak terduga, terus berjalan hingga sekarang, membuktikan bahwa kisah mereka penuh dengan kejutan.  Kisah Alena dan Agatha baru saja dimulai, dan siapa yang tahu apa yang akan datang selanjutnya? Apakah mereka akan mampu menjaga hubungan ini meskipun ada banyak rintangan di depan? Setelah Alena menyusul Agatha di kampus yang sama, bagaimana kelanjutan kisah cinta mereka di dunia kampus? Yang pasti, perjalanan mereka masih panjang, dan setiap detiknya penuh dengan misteri dan keajaiban yang menanti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun