Mohon tunggu...
Iin Nabila
Iin Nabila Mohon Tunggu... mahasiswa

sebaik-baiknya ingatan adalah tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sejak Nama Itu Hadir

10 Januari 2025   16:36 Diperbarui: 10 Januari 2025   19:19 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Halo, ini Agatha," tulisnya di pesan pertama.

Alena tersenyum membaca pesan itu. Ternyata Agatha langsung menghubunginya lewat WhatsApp untuk memastikan mereka sudah saling terhubung. Tanpa berpikir panjang, Alena segera menyimpan nomor Agatha di ponselnya.

"Oh, oke!" balas Alena.

Malam itu, ponsel Alena bergetar di atas meja belajarnya. Notifikasi WhatsApp muncul, dan di sana terpampang nama yang baru beberapa jam lalu menyapanya, Agatha. Ada debar halus di dadanya, meski ia berusaha mengabaikannya.

"Tertekan bangat wkwk." tulis Agatha, membalas story Alena yang memperlihatkan momen saat ia berdiri di sisi panggung menemani partnernya yang sedang bernyanyi di acara pernikahan. Story itu ia unggah tak lama setelah acara selesai, lengkap dengan tag ke akun ayah Agatha, karena ayahnyalah yang meminta mereka bernyanyi. Alena sempat tertegun. Bukan karena pesannya, tapi karena orang yang mengirimnya.

Tak lama setelah itu, notifikasi baru muncul. Kali ini Agatha meminta foto Alena bersama ayahnya yang pernah mereka bahas waktu lalu. Alena sangat malu dan rasa ragu itu muncul. Ia menghela napas pelan sambil memperhatikan wajahnya sendiri di foto itu. "Ih, jelek banget," gumamnya dalam hati. Jarinya sempat terhenti di tombol kirim. Ada perasaan malu yang tiba-tiba datang, membuatnya bimbang. Apa harus dikirim? Tapi, setelah berpikir sejenak, ia mengingat bahwa ini hanya soal foto biasa. Lagipula, Agatha yang memintanya lebih dulu. "Udahlah, nggak usah dipikirin," katanya pada dirinya sendiri. Dengan setengah ragu, ia menekan tombol kirim. Notifikasi "Terkirim..." muncul di layarnya.

Ada rasa lega, tapi juga canggung yang menggelayuti pikirannya. Ia meletakkan ponsel di meja, berusaha tidak memikirkannya lebih jauh. Tapi tetap saja, pikirannya kembali ke satu hal: "Kenapa dia tiba-tiba minta foto itu, sih?"

Setelah Alena mengirimkan foto itu, hubungan mereka mulai terasa berbeda. Ada sesuatu yang lebih akrab, lebih ringan, meski tanpa perasaan yang harus diungkapkan dengan kata-kata. Mereka mulai mengobrol lebih sering, bahkan setiap hari. Awalnya hanya soal hal-hal kecil, seperti aktivitas sehari-hari, atau hal-hal lucu yang mereka temui di media sosial. Namun, seiring berjalannya waktu, obrolan mereka mulai mengalir dengan lebih alami.

Hari demi hari, tanpa terasa, mereka saling memberi kabar satu sama lain. "Baru bangun, ya?" Agatha mengirim pesan pertama pagi itu, tepat setelah Alena mengupdate statusnya di WhatsApp. "Kamu tidur cukup nggak semalam?" Alena membalas dengan cepat, tertawa kecil sebelum mengetik jawabannya. "Iya, cuma agak telat, sih. Tapi nggak apa-apa, yang penting bisa bangun pagi."

Mereka semakin sering berbagi tentang kegiatan mereka, bahkan hal-hal yang awalnya terasa sepele. Alena jadi tahu kalau Agatha punya rutinitas pagi yang sangat teratur, seperti olahraga ringan dan sarapan sehat. Agatha juga jadi tahu bahwa Alena sering kali suka begadang, tapi ia selalu berusaha untuk bangun lebih pagi agar bisa memulai hari dengan baik. Malam-malam, setelah semua kesibukan, mereka saling menyapa. Tidak ada yang terasa dipaksakan. Cuma kebiasaan baru yang mereka bangun bersama, memberi kabar setiap hari seakan sudah menjadi bagian dari rutinitas hidup mereka. Alena mulai menantikan pesan dari Agatha setiap pagi, dan Agatha pun merasa begitu, meskipun ia tidak mengatakannya. Mereka sama-sama tahu bahwa percakapan mereka bukan sekadar obrolan biasa. Ada kenyamanan yang tak tergantikan dalam setiap kata yang tertulis. Terkadang, mereka hanya saling mengirim pesan tanpa tujuan tertentu, hanya berbicara tentang hari yang baru atau sekadar mengingatkan untuk istirahat yang cukup.

Hari itu, sahabat Alena datang ke rumah seperti biasa, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Mereka duduk di ruang tamu, menikmati cemilan yang dibawa, dan mulai mengobrol ringan. Setelah beberapa obrolan ringan, sahabat Alena meletakkan cemilan dan menatapnya dengan serius. "Oke, ngomong-ngomong soal Agatha, gue penasaran deh, lo gimana sih sama dia?". Alena terdiam sejenak, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia merasa agak canggung, tapi akhirnya menjawab dengan jujur. "Gue... nggak tahu, sih. Setiap kali ngobrol sama dia, gue merasa nyaman aja, nggak pernah merasa terbebani. Padahal, kadang dia juga ngirim pesan panjang-panjang. Tapi rasanya gampang aja, ngerti nggak sih?" jawab Alena sambil merapikan rambutnya, mencoba menjelaskan perasaannya yang agak sulit dipahami. Sahabatnya menatap dengan penuh perhatian. "Jadi lo merasa nyaman ngobrol sama dia, tapi lo nggak mikir kalau ada rasa lain di balik itu?" Alena menggelengkan kepala pelan. "Gue nggak mikir soal itu, sih. Gue cuma merasa aneh aja, kenapa bisa sesenang itu ngobrol sama dia. Tapi... ya, nggak lebih dari itu, gue rasa". Alena mengalihkan pandangannya, sedikit berpikir. "Gue nggak tahu, mungkin gue hanya merasa nyaman aja. Mungkin itu karena kita sering ngobrol, jadi merasa lebih dekat. Tapi gue nggak mikir lebih jauh dari itu," jawab Alena, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sahabatnya tersenyum, meskipun masih terlihat penuh rasa ingin tahu. "Kadang, kenyamanan itu juga bisa berarti lebih, lho. Perasaan itu nggak selalu harus tumbuh dengan cepat, kan? Bisa aja mulai dari hal kecil, kayak ngobrol setiap hari, dan lama-lama jadi lebih penting."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun