Keesokan harinya, Agatha mengajak Alena mengobrol via telepon. Alena sempat terkejut, tapi juga merasa senang. Obrolan mereka dimulai dengan topik yang ringan, membahas buku-buku yang mereka suka baca. Agatha mengungkapkan betapa dia suka membaca buku filsafat dan politik. "Buku-buku tentang filsafat dan politik itu bikin aku mikir panjang. Mereka nggak cuma tentang ide, tapi lebih ke pandangan hidup yang bisa ngebuka mata,"Â katanya, dengan suara penuh semangat. Sementara Alena lebih suka novel, apalagi yang bergenre fiksi dan petualangan. "Aku sih suka novel-novel yang seru" jawab Alena dengan antusias.Â
Meskipun mereka berdua memiliki selera yang sangat berbeda, obrolan mereka tetap asyik dan menyenangkan. Waktu pun terasa cepat berlalu karena mereka sama-sama menikmati percakapan yang mengalir begitu mudah. Tiba-tiba, setelah beberapa lama, Agatha mulai membahas sebuah buku yang menurutnya menarik. "Aku pernah membaca salah satu buku yang ngomongin tentang cinta, loh". Setelah mengobrol panjang tentang buku itu Agatha tiba-tiba mengeluarkan satu kalimat yang membuat Alena terdiam, "manusia itu butuh kepastian". Kalimat itu membuatnya sedikit bingung, dan dia merasa seolah-olah ada makna yang lebih dalam dari kata-kata Agatha. Hatinya mulai berdebar, tapi dia mencoba menenangkan diri. "Maksudnya?" Tanya Alena, berusaha memastikan, meskipun dia sudah mulai paham apa yang Agatha coba sampaikan. Agatha tertawa kecil di ujung telepon, seolah mengetahui kebingungannya. "Masa nggak paham sih? Aku yakin kamu pasti paham. Kamu mau nggak?" katanya, nada suaranya sekarang terdengar sedikit lebih serius, lebih penuh harapan. Alena merasa pipinya memanas. Ia merasa canggung dan tersipu, bingung antara ingin mengonfirmasi atau takut salah paham. "Maksudnya... maksudnya gimana, Agatha, kamu serius? Aku... nggak tahu harus bilang apa". Agatha tetap tenang, meski nada suaranya semakin terdengar penuh keyakinan. "Kamu mau apa enggak, Alena? Ya atau tidak, cuma itu aja," ujarnya dengan santai, seolah memberi Alena kesempatan untuk memutuskan. Alena terdiam beberapa detik, menimbang kata-kata yang keluar dari mulut Agatha. Dia merasa gugup, namun entah kenapa ada perasaan hangat di dadanya, seperti ada sesuatu yang tak bisa diabaikan. Dia menarik napas panjang dan akhirnya mengumpulkan keberanian. "Ya... aku mau," jawabnya dengan suara pelan namun tegas. Di ujung telepon, Agatha diam sejenak, sebelum akhirnya mengucapkan sesuatu yang penuh kebahagiaan. "Terima kasih, Alena. Aku senang kamu bilang begitu." Alena hanya bisa tersenyum malu, meskipun hatinya berdebar hebat. Mereka berdua terdiam sejenak, merasakan keheningan yang penuh arti, sebelum melanjutkan obrolan mereka, kali ini dengan perasaan yang jauh lebih dalam dari sebelumnya.Â
Setelah tujuh hari saling mengobrol, tepat pada hari kedelapan, 20 Juni 2023, Agatha dan Alena resmi berpacaran. Siapa sangka, Agatha nama yang sama sekali tak pernah Alena bayangkan sebelumnya, bahkan orang yang ia tak kenal sama sekali, dan hanya bertemu sekali di terminal sebelum Agatha berangkat ke kota lain untuk melanjutkan kuliahnya, "ya benar pria itu Agatha" pria itu menjadi sosok yang kini begitu dekat dengannya. Hubungan yang tumbuh begitu cepat ini, meskipun dimulai dari pertemuan yang tak terduga, terus berjalan hingga sekarang, membuktikan bahwa kisah mereka penuh dengan kejutan. Â Kisah Alena dan Agatha baru saja dimulai, dan siapa yang tahu apa yang akan datang selanjutnya? Apakah mereka akan mampu menjaga hubungan ini meskipun ada banyak rintangan di depan? Setelah Alena menyusul Agatha di kampus yang sama, bagaimana kelanjutan kisah cinta mereka di dunia kampus? Yang pasti, perjalanan mereka masih panjang, dan setiap detiknya penuh dengan misteri dan keajaiban yang menanti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI